Pernak - pernik Bahasa dalam Puisi

Pernak - pernik Bahasa dalam Puisi

 


Pernak - pernik Bahasa dalam Puisi 

 Oleh: Muklis Puna 

sastrapuna.com - Pernak - pernik Bahasa dalam Puisi. Bahasa adalah representatif pikiran. Pernyataan  sederhana ini  semoga menjadi motivasi bagi pembaca dalam berkarya khususnya  puisi. Tarigan ( 2001) Ada empat aspek yang ada dalam bahasa yaitu aspek menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Menyimak dan membaca sering dianggap sebagai keterampilan konsumtif, sedangkan aspek menulis dan berbicara merupakan aspek produktif.   Seberapa banyak kita mengonsumsi  bacaan akan berdampak pada produktivitas tulisan. Parera (1998) Bacalah sebanyak- banyaknya, karena suatu saat   apa yang dibaca akan meronta minta keluar dalam bentuk tulisan.

Bagaimanakah korelasi uraian dari  kutipan di atas dengan bahasa puisi yang  sering digunakan penyair?  Dalam ilmu sastra,  bahasa merupakan medium utama dalam menyampaikan perasaan, baik berupa pengalaman ataupun perenungan yang dilakukan penyair. Renungan itu terkadang bersifat religius, pribadi atau berhubungan dengan manusia sebagai ciptaan tuhan. Secara umum bahasa puisi dipenuhi  oleh gaya bahasa dan ungkapan. 

Mungkin hal inilah yang membedakan dengan bahasa  dalam karya tulis lainnya. Dilihat dari bahasa yang digunakan, tampak bahwa karya sastra mengabdi pada batin, sedangkan karya tulis ilmiah mengabdi pada otak. Akan tetapi, walaupun  mengutamakan bathin sebagai sumber insipirasi, karya sastra sering  dikaji secara ilmiah demi pengembangan ilmu sastra  itu sendiri.

Bahasa puisi  menggunakan ungkapan  idiomatik dan gaya bahasa.  Menurut hemat penulis, bahasa puisi itu  pekat dan gelap. Untuk lebih mudah menyajikan maksud "gelap dan pekat” dapat dianalogi seperti kopi dan susu. Secara umum warna dasar kopi adalah gelap, sementara susu punya warna dasar putih. Jika kedua objek ini dicampurkan dalam satu wadah dengan mediasi air sebagai penghantar larutan, maka  terbentuklah  warna pekat dan bersifat ketat. Kalau ditanyakan  mana kopi  dan  susu?  Begitulah analogi yang  dapat membantu pembaca dalam memahami bahasa puisi. Jika   dilihat dari bahasa yang digunakan penyair dalam  penulisan puisi terdapat tiga  jenis puisi yaitu puisi dengan bahasa transparan, puisi dengan bahasa gelap, dan puisi dengan bahasa sangat gelap. 

Ragam  ini digunakan penyair bergantung pada kepribadian penyair dalam mengungkapkan perasaannya dalam wujud puisi. Ada penyair dengan gamblang mengumbar perasaannya terhadap objek yang dilukiskan dengan bahasa transparan, ada juga yang agak  gelap,  akan tetapi  remang -remang, dan membutuhkan kajian yang yang sistematis dengan melibatkan kajian ilmu lain. Selain maksud yang sudah dikupas di atas, penyair juga memanfaatkan bahasa dengan nilai  estetika, baik  melalui rima dan irama  yang dimunculkan. 


Panjang  dan Pendek Bahasa  Puisi

Mengacu pada isi dan bentuk puisi dilihat dari bahasa yang digunakan penyair. Ada puisi  dengan bahasa pendek, sebalikmya ada juga puisi yang ditulis dengan bahasa yang sangat panjang. Sebagian beranggapan  bahwa puisi tidak perlu panjang, yang penting isi dari puisi itu mudah dipahami, “ “Buat apa panjang tapi bertele-tele”,” anggapan tersebut tidak ada salahnya. 

Terkadang penyair pemula lebih banyak mengulang ide yang sudah diungkapakan di awal dari puisi yang ditulisnya. Akan tetapi, menggunakan repetisi dalam puisi  boleh-boleh saja. Misalnya, sering dijumpai penyair mengulang  larik yang sama pada setiap awal bait. Namun  puisi itu tidak hanya untuk diresapi secara individual. Puisi seperti ini umumnya bahasanya padat dan bentuknya agak pendek. 

Selain untuk diresapi oleh pembaca, puisi juga ditulis untuk dibaca dan bermanfaat secara kolektif. Ketika puisi dibacakan, seorang pembaca puisi membutuhkan inteprestasi, penghayatan, vokal, artikulasi dan totalitas.  Setiap perlombaan yang diadakan di berbagai jenjang dalam dunia pendidikan, umumnya puisi yang diperlombakan adalah puisi-puisi penyair ternama ( WS Rendra dengan puisi “Gugur”,  Mustafo Bisri  dengan puisi “Ibu”), dan masih banyak lagi puisi yang diperlombakan umumnya   berbentuk  panjang. 

Dalam penilaain pembacaan puisi  menggunakan aspek  yang  begitu kompleks, sehingga seni membaca puisi dapat berlangsung dengan baik. Bukankah membaca puisi dengan baik juga merupakan bagian dari apresiasi terhadap karya sastra? Ini  hanya dapat dilakukan terhadap puisi yng berbentuk panjang. 

Selanjutnya, bagaimana dengan puisi pendek? Puisi pendek lebih membutuhkan  daya resap yang tinggi. Karena penyair sudah memadatkan   persaaannya melalui diksi yang  mewakili semua perasaannya. Proses pemilihan diksi yang dilakukan penyair dengan puisi pendek membutuhkan perenungan yang luar biasa. Setiap diksi dan gaya bahasa yang dipilh tidak serta merta, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama. Idealnya, bagaimana seorang penyair mengompres idenya yang  panjang dalam bentuk puisi pendek. 

Nuansa Rasa dalam  Bahasa  Puisi 

Sebagaimana sudah dijabarkan di atas dalam jasad tulisan ini, bahwa bahasa puisi bukanlah bahasa yang sembarangan. Artinya, bahasa puisi itu bukanlah sebuah tumpukan kalimat yang mengantarkan satu pesan. Namun, bahasa puisi itu  berfungsi sebagai media yang digunakan penyair dalam mengungkapkan perasaannya. 

Perasaan yang dimaksud dapat berisi sebuah pemberontakan jiwa, rasa cinta, senang dan kritik terhadap suatu keaadaan, peristiwa atau hal yang sedang dihadapi. Jika ditijau secara filsafat, bahasa puisi adalah sebuah ide yang dihantarkan oleh penyair dalam balutan bahasa  agak gelap ataupun transparan. 

Jika menaganalisis secara jelas, ide  adalah sebuah konsep yang mewakili jiwa penyair terhadap suatu keadaan dilematis yang dimiliki.  Ide tentunya bersifat abstrak, namun bahasa puisi yang mewakili penyair dalam nuansa berbeda rasa merupakan sebuah bayangan dari ide tersebut. Bayangan dari ide tidak dapat dimaknai secara kasat mata, hal ini membutuhkan pengetahuan yang tinggi terhadap diksi yang digunakan penyair dalam menyairkan ide tersebut. 

Menurut Plato ide tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. https://www.kompasiana.com/hariadideutsch/550fd9fba33311c739ba7d5c/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles

Berkaitan dengan konsep yang dikemukan pakar tersebut, ternyata ide tidak hanya berasal dari pikiran,  melainkan  pikiran manusialah  yang terngantung pada ide. Ini sebuah pemhaman yang sukar diungakapkan, jika berhubungan dengan nuansa  rasa dalam bahasa puisi. Sekilas ada benarnya, karena puisi secara lahiriah mengabdi kepada batin. Sementara dalam  kajian lain terdapat perbedaan antara pikiran dan batin. 

Setiap penyair yang menggunakan bahasa sebagai media pelepasan hasrat selalu mendengar bisikan-bisikan dalam batinnya. Ini yang membedakan dengan bahasa ilmiah yang digeluti oleh kaum akademik selama ini. Bahasa figurative dalam puisi adalah sebuah kewajiban yang harus diikuti olaeh penyair dalam menggungkapkan persaannya. 

Mata batin penyair dalam mengungkapkan hasratnya dalam balutan bahasa puitif begitu tajam dan mengena. Penulis menduga ada unsur lain yang ikut berperan dalam kehiduapan penyair dalam mengungkappkan perasaan. Bakhan ada konsep yang mengatakan bahawa sebuah puisi tersebut mengungkapkan yang tak terungkap. Ada sisi lain yang tersebunyi dari sisi kehidupan penyair tidak diketahui oleh orang lain. Namun dengan menggunakan bahasa yang klise penyair sudah berhasil menguak semua tabir yang ada dalam dirinya. 

Penulis adalah  Pemimpin Redaksi jurnal  Aceh Edukasi, Pengurus  IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi  dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe




 

 


Berita Terkait

Posting Komentar

2 Komentar