Mengais Asa di Negeri Konflik
Muklis Puna
Sastrapuna.com- Dua tahun berjalan begitu lamban. Mus dan keluarga kecilnya makin terpuruk di segi ekonomi. Tanah rencong membara, pihak- pihak yang bersengketa menyebar ranjau kematian menjerat musuh. Kepercayaan mulai menjauh dari dada. Orang- orang bermuka dua tumbuh bagai jamur di musim hujan. Rakyat jelata mengusung kecemasan. Curiga adalah diksi yang diincar oleh pihak tertentu.
Malam diubah menjadi momen -momen pencabut nyawa. Suara jangkrik berderit indah digantikan dengan desingan peluru. Rutinitas masyarakat dipangkas sampai pukul 18.00 Wib. Resah dipindahkan pada orang -orang mencari sesuap nasi dari putaran matahari.
Kota kecil di pergunungan Aceh Utara semakin mencekam. Aparat keamanan keluar-masuk lewat semak memburu gerilya. Kantor- kantor kecamatan dikunyah mesin ekavator oleh pihak gerilyawan. Senjata menyalak dan menyasar bagai petasan tahun baru.
Kegiatan perbengkelan yang digeluti Mus berubah haluan. Pelayanan diberikan pada motor dan senjata milik gerilyawan. Saban hari Mus melayani dengan penuh tanggung jawab tanpa resah sedikitpun. Para gerilyawan penuh percaya diri menguasai kota yang terkenal dengan duriannya.
Bengkel kecil berdinding lapuk dengan pintu tanpa engsel, kini dipenuhi barang-barang keperluan kendaraan hasil sitaan gerilyawan di jalan negara, ketika dilintasi truk berbadan lebar.
Montir para Gerilyawan
Seluruh negeri Serambi Mekah dibalut konflik berkepanjangan. Tidak ada titik temu antara pihak yang bertkai. Orang-orang kecil mengusung resah dalam dada. Remaja laki -laki dituduh sebagai gerilyawan. Mereka mengambil jalan pintas menyeberang selat menyelamatkan jiwa. Udara semakin kotor, polusi curiga, dan prasangka menguap meracuni pikiran para pihak bertikai. Gagang pelatuk menari, mesiu bernyanyi menyasar tanpa pertimbangan.
Kondisi ini juga menimpa Mus dan keluarga kecilnya. Hampir saban hari Mus berurusan dengan motor sitaan pihak Gerilyawan. Motor dari berbagai merek digantikan warna dalam sekejap. Sedikit demi sedikit rupiah mulai mengalir mengikuti arus konflik.
Hari Rabu adalah hari pekan di kota kecamatan tersebut. Rutinitas pedagang mulai menggeliat membangun tenda tempat pajangan barang dagangan. Hari itu, Mus baru saja mengganti kepongpong lusuh dan kumal. Semua warna yang pernah disemprotkan pada berbagai merek kendaraan tersisa sebagai sampel di baju dinasnya.
Enam orang lelaki kekar menumpang motor trail berhenti di depan bengkel Mus bekerja. Mereka berseragam loreng lengkap dengan senjata merek negeri Eropa. Ban motor yang mereka tumpangi dibalut lumpur kemerahan. Tampaknya mereka baru tiba dengan melewati jalan setapak penuh lumpur. Bagi Mus kejadian ini sudah menjadi pandangan biasa. Setelah mereka parkir di depan bengkel. Mus meminta mereka untuk duduk di kursi kayu penuh coretan. Jabat tangan berlansung erat walau mereka tidak pernah senyum.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Mus pada seorang ajudan yang melihat- lihat ke dalam bengkel . Di depan dan samping tampak dua orang siaga memantau keadaan dengan bersenjata lengkap. Di kursi panjang penuh warna tampak juga seorang laki -laki tegap dan tinggi. Wajahnya maskulin, gayanya penuh kelembutan, tapi dibalut ketegasan. Lelaki brewokan itu tersenyum pada Mus. Tampak gigi putih berjejer rapi bagai biji jagung muda dalam balutan transparan. Mukanya oval dibalut bulu- bulu ranum begitu menggoda. Postur tubuh dan bentuk kaki sangat selaras dan memesona. " Apakah betul ini lelaki yang diburu aparat Keamanan? Mus berusaha menepis pertanyaan itu. Pertanyaan lain muncul dalam benaknya. Apakah ini yang sering diceritakan orang -orang kampung selama ini? "Ataukah ini sosok panglima yang ditakuti dan disegani pihak gerilyawan dan aparat pemerintah?" Mus mencoba menganalisis berdasarkan ciri dan karakter yang menguap dalam desas-desus orang kampung.
Belum selesai lamunan bersambung. Tiba -tiba seorang ajudan bertanya. "Bang...! Tolong motor tua ini diganti warna terbaru yang lebih garang dan mengkilap ya?" Sambil menunjuk ke arah motor butut keluaran tahun tujuh puluhan. Dalam tradisi masyarakat Aceh motor tua keluaran lama masih diminati. Orang -orang yang sering mangkal di bengkel Mus menyebutnya dengan singkatan keren ( Astuti) Astrea Tujuh Tiga. Namun sebagian orang menyebutnya motor butut dengan mesin merek Honda itu dengan sebutan " Super Jhon" entah siapa pertama kali yang melabeli motor itu hingga masyarakat lebih familiar dengan nama seperti itu.
Perlahan motor tua keluaran tahun 70 -an itu di dorong masuk bengkel Mus yang begitu rapuh. Bengkel yang di sewa dengan harga Rp. 500 ribu per tahun kini tampak lusuh dan keropos dilumat usia dan peluru ketika perang berkecamuk dalam beberapa bulan terakhir. "Berapa ongkosnya semua tengku?" Ujar lelaki tegap brewokan dan ganteng ." Kita cek dulu bahan- bahannya Tengku". Kelihatan tubuh Mus dalam kepompong kusam tampak gemetar. Apalagi sang panglima dikenal dengan hemat kata- kata. Namun, sesekali bibirnya bagai pasangan bulan sabit menyungging senyum. Deretan gigi bersulam perak berjejer rapi laksana biji jagung tersibak angin sepoi di siang bolong. " Oke lah nanti kalau sudah siap diinformasikan ya?" Sang panglima dengan beberapa pasukan bersenjata laras panjang di punggung bergegas meninggalkan bengkel.
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Mus bekerja begitu giat demi sembulan asap di dapur mini miliknya. Sang panglima yang paling diincar pasukan pemerintah turun dengan gagahnya dari pucuk-pucuk gunung nan ranum menghampiri Mus. " Gimana tengku? Sudah siap motor antik saya?," Telunjuk dan mata Mus mengarah ke motor yang sudah dicat warna cerah dengan bintik metalik merah maron. Sang panglima menatap motor miliknya penuh selidik, dengan raut wajah ceria dibungkus jambang, tampak Ia kegirangan sambil mengusap usap bodi motornya yang sudah diupgrade dalam sepekan.
Dengan sigap dan tegas Ia merogoh dompet kulit warna kuning. Dari arah dekat Mus menatap ke arahnya . Para pahlawan pendiri negeri tidur berjejer bertindih siap meluncur lewat jemari kekar miliki panglima. " Berapa ongkosnya Tengku? " Mus yang belum biasa berkomunikasi dengannya menjawab . "Semuanya tiga ratus dua puluh lima ribu tengku". Lalu tanpa komentar sang panglima mengambil tiga lembar uang seratus ribu rupiah diberikan pada Mus.
Melihat uang sejumlah itu kening Mus berkerut , raut wajah tampak luntur. Ia membatin sehalus- halusnya" bagaimana cara memprotesnya ini?" Modal belum kembali , untuk beli bahan baru pun tidak cukup.' Dengan mulut seperti disumpal, suara tersangkut di kerongkongan. "Maaf Tengku ini tidak cukup". Mendengar ucapan itu sang panglima tersenyum, Ia tahu bahwa Mus gugup. " Coba Tengku hitung lagi deh!, " Itu cuma kurang dua puluh lima ribu rupiah. " Mus terkejut, " ohh ....kalau begitu tidak masalah Tengku".Saya pikir...? " Semua pasukan yang menyaksikan sikap Mus tersenyum. Susana pun mencair bagai es disirami air panas. *; Bersambung
0 Komentar