Perjalanan Nasib

 


Oleh: Muklis Puna

Hari itu Koetaraja begitu lengang.  Kendaraan  merayap menapaki jalan protokol Ibukota Provinsi yang punya rentetan sejarah diakui dunia. Dari arah terminal bus  tampak  Mus dan keluarga kecilnya tertatih- tatih menjinjing koper warna kusam menuju arah penjual tiket. Keluarga yang baru dibangun setahun lalu masih terasa  rapuh dari berbagai terjangan badai kehidupan. Mus  sehari- hari bekerja semerautan, apapun Ia lakukan yang penting dapur kecil tanpa ventilasi itu tetap mengepul.

Sebelum menikah dengan Mimi,  Mus sempat mengenyam pendidikan di Universitas Swasta  Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil.  Saat itu, usianya terlalu muda untuk menjadi imam dalam keluarga. Jangankan mengurus anak- isteri yang menuntut perhatian banyak, mengurus diri sendiri pun Ia tak sanggup. Maklum..! Mus merupakan anak ke delapan dari sebelas bersaudara yang didominasi oleh kaum perempuan. Hampir semua kebutuhannya  selama hidup dibantu oleh saudara perempuannya. Namun bukan berarti Mus kawin' muda karena sudah terjadi faktor  X terhadap hubungan suci yang Ia jalani. Usia pernikahan dimasukinya   ketika remaja lain sedang sibuk  mengejar cita yang telah dijawab pada saat  SD"  Mus?, " Nanti Kamu kalau besar mau jadi apa?", Tanpa beban dengan sigap Mus yang kerempeng ini menjawab " Saya mau jadi Dokter Bu!"  Mus asal jawab saja pertanyaan gurunya yang dikenal cantik dan mungil pada saat itu. " Cita -cita kan asasi setiap insan ” pikir Mus sambil melanjutkan coretannya di buku pelajaran Bahasa Indonesia.

Perjalanan Mus dan Mimi isteri tercintanya bersama putra harapan jiwa berlangsung    aman tanpa kendala. Padahal saat itu riak -riak konflik yang melanda negeri ini pelan -pelan sudah disemai oleh para pihak yang bersengketa.   Dalam perjalanan menuju kampung halaman, sesekali bus yang mereka tumpangi distop dan diperiksa oleh  aparat keamanan. Mereka   diserbu dengan berbagai pertanyaan mengenai tujuan dan keperluan atau segala macam, walau    kadang salah alamat.

Perjalanan panjang menjemput harapan   dilakukan Mus dan keluarga kecil berlangsung selama lima jam. Tak terasa ketika pagi dijemput matahari, mereka tiba di persimpangan menuju kampung halaman. Persimpangan jalan negara menuju   Ibu Kota Kecamatan   ditempuh selama 30 menit dengan menumpang mobil Pick Up.

Sepanjang 17 kilometer lagi keluarga kecil itu  sampai menuju kampung halaman. Dalam perjalanan yang berkelok dan berliku penuh terjal Mus dan istrinya Mimi  menatap hampa  dengan ribuan pertanyaan. Mus merupakan nakhoda dalam keluarga ini duduk bersimpuh lesu di sudut belakang mobil. Tubuhnya kerempeng,  tatapannya kosong pikirannya melayang, dadanya berkecamuk menjawab sejumlah tanya yang mondar -mandir . Napasnya  kelihatan naik turun dari jagun yang mengantung di  bawah dagu. Sesekali   posisi duduknya diganti  sesuai dengan alur pikirannya.

Jalan menuju kota kecamatan  kampung halaman Mimi berkelok dan berliku. Udara pegunungan menggigit kulit  dibungkus tulang yang muncul pada tiap lekuk akibat didera derita hidup. Suasana begitu sejuk, orang  laki- laki merayap pelan menuju warung kopi dibungkus sarung dan kelambu tidur. Maklum   kebiasaan masyarakat desa kalau pagi selalu sarapan di warung kopi, padahal anak –istrinya  jarang sarapan.

Ketika Mus sedang asyik-asyiknya menindih lamunan, tiba- tiba mobil yang Ia tumpangi bersama keluarganya berhenti. Artinya, perjalanan menuju kampung mertua sudah selesai. Tangan Mimi ditepuk -tepuknya di punggungnya. Sementara Mimi kelihatan sangat lelah akibat putra kesayangannya terus digendong sepanjang perjalanan yang begitu panjang dan mengular. " Bang..! ",  Bangun Bang! Kita sudah sampai!"  Dengan mengusap bola mata yang kelilipan ditampar angin, Mus menjawab' " Ohh.. sudah sampai ya?" Sambil menggeser tubuhnya dan meraba ransel kumal yang dijadikan bantal. Ia pun bergegas turun bersama isteri tercinta menuju PMI (Pondok Mertua Indah) Setelah basa -basi dengan sanak keluarga yang menyambutnya pulang, Mus bergegas menyambungkan mimpinya yang tersisa di perjalanan tadi.

Malam, sehabis salat Isya Mus dan Mimi yang merupakan cinta pertama dan terakhirnya berdiskusi panjang tentang kehidupan selanjutnya di kampung halaman.  " Lebih baik di sini di kampung sendiri, walaupun kekurangan, makan seadanya, tapi kita masih bersama dan hidup rukun daripada di Koetaraja yang tidak menentu" Sebuah harapan keluar dari mulut ibu mertua yang sangat menyayangi  Mus lebih dari anaknya sendiri yaitu Mimi.

"Lalu apa yang bisa saya kerjakan di sini Bu?" Tanya Mus dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya lulusan SMA yang punya sedikit keterampilan sebagai montir" Mimi yang duduk di samping Mus diam dalam pasungan nasib"  Padahal Dia lulusan terbaik Universitas Favorit di Aceh yang mengantongi ijazah Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Warna stempel di sertifikat yang dimiliki masih tampak basah menutup nama sang rektor universitas itu.

Jiwa Mimi begitu mantap dan kokoh dalam mengarungi bahtera bersama Mus. Ia pekerja keras tak sedikitpun bergeming. Tiba- tiba dari arah ruang makan satu suara harapan keluar. Kakaknya Mimi ikut berkomentar" Di kota kecamatan ada satu ruko yang disewakan”. Kalian bisa tinggal dan membuka usaha bengkel motor dan mobil. Apalagi di sini belum ada orang yang punya keahlian seperti itu, khusus cat. " Berapa harga sewa setahun?  Mimi ikut bicara" cuma tujuh ratus ribu rupiah, itupun boleh cicil, sembari kakak ipar membuka stoples kue yang berisi kue khas masyarakat Aceh. "

Suasana semakin membaik, Mus mulai bergairah menanggapi diskusi malam itu. Namun sekali-kali ia membatin" Bagaimana Aku bisa berusaha mencari sesuap nasi untuk anak- isteriku, sementara kondisi keamanan sudah memberikan sinyal sinyal yang tidak menguntungkan? " Diusirnya jauh -jauh hasutan jiwanya. Mus tetap berkomitmen untuk bertahan di kampung halaman Mimi.  Malam mengerujut menuju puncak, Mus dan Mimi mohon pamit untuk istirahat, karena utang lelah dalam perjalanan belum terbayarkan.

Hanya beberapa hari berselang toko yang dijanjikan dalam diskusi malam itu ternyata masih disewakan. Mus dan Mimi merasa senang. Dengan sedikit sisa modal dari Kotaraja merekapun tinggal di kota kecil jauh dari jalan negara bersama buah hatinya.

Tiga bulan sudah berlalu, usaha belum berbuah hasil. Orang-orang belum berani memberikan kepercayaan pada Mus untuk reparasi kendaraanya. Mus kelimpungan, Ia tak putus asa selalu mencari kerja sampingan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Mimi tak tinggal diam menghadapi kondisi ini. Kini Ia membuat kue untuk di jual di beberapa warung kopi sekitar. Pekerjaan seperti ini bukan hal baru baginya, dulu ketika masih di Koetaraja sepulang kuliah Ia memetik kangkung untuk dijual di warung depan rumah mereka. Membuat kue sudah lebih bagus dan bermartabat menurut Mimi yang berkulit putih dan cantik. Cuma nasibnya saja yang belum sesuai dengan paras dan budi pekerti yang dimilikinya. * Bersambung…

 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar