"Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China" Kini Tinggal Kenangan
Oleh: Muklis Puna
sastrapuna.com - Hadist dari Rasulullah di atas kini tidak dapat lagi direalisassikan pada kehidupan belajar. Hal ini jika dirujuk pada keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) .
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menegaskan bahwa PPDB merupakan bentuk peneguhan dan penyempurnaan dari sistem zonasi yang sudah dikembangkan. Sekilas peraturan ini bertujuuan lmenciptakan pemerataan kesempatan belajar- mengajar dari warga sekolah yang ada.
Penulis tidak menafikan bahwa setiap keputusan sebelum di SK kan sudah melewati kajian mendalam dan melibatkan pakar pendidikan yang mumpuni. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa hal ini hanya diberlakukan pada sekolah sekolah umum semisal Sekolah Menengah Atas ( SMA). Agar tulisan ini lebih berhaluan mengikuti alur pikir pembaca,penulis mencoba membuka tabir ini dengan opini" Sebaiknya pemerintah harus menata ulang proses zonasi sekolah yang sudah berlangsung sejak benerapa tahun terakhir.
Sebagaimana diketahui publik, bahwa tujuan utama pendidikan nasional secara eksplisit adalah memanusiakan manusia. Maksudnya, menjadikan manusia dari tidak berkarakter menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang mampu melanjutkan tugasnya sebagai khalifah dalam mengisi pembanguna sesuai dengan tujuan para pendiri negeri (founder of the country).
Bagaimana hal tersebut dapat terwujud? Jika pendidikan berada dalam kotak nyaman yang jauh dari kekuatan kosmopolit dan heterogen. Bukankah manusia berperadaban adalah manusia yang berkumpul pada satu tempat atau wadah yang masyarakatnya berasal dari berbagai latar belakang dan pola pikir yang berbeda memunculkan sebuah budaya modern?
Mengikuti perkembangan zonasi sekolah yang digaungkan pemerintah, telah menimbulkan kesenjangan belajar dan sosial dalam dunia pendidikan hari ini. Carut -marut proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di kota - kota besar menghiasi media masa dan media sosial.
Betapa orang tua siswa bersusah-susah berdesak- desakan menanti berkas anaknya yang diambil panitia penerimaan siswa baru. Kadangkala setelah mandi keringat di bawah busuran matahari tidak sedikit yang merasa kecewa. Fenomena seperti ini baru kali ini terjadi dalam pendidikan kita. Memang betul sebuah hal baru menuai kontroversi, tetapi tidak menjadi polemik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam konteks lain membangun bangsa ke depan adalah seyogyanya membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi dan bermartabat dengan tidak mencederai pendidikan itu sendiri sebagai rahim kemajuan suatu bangsa.
Penyamarataan kualitas pendidikan yang digadang -gadang selama ini hampir salah kaprah. Fakta -fakta kasat mata telah diketahui bersama di antara para pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan. Zonasi sekolah yang diberlakukan pendidikan khususnya pada sekolah umum memunculkan efek domino bagi dunia pendidikan dan pemerintah.
1. Hilangnya Sekolah Favorit dalam Percaturan Pendidikan
Sekolah favorit merupakan sekolah yang diidolakan oleh semua orangtua dan siswa. Dianggap favorit karena memenuhi beberapa indikator di antaranya, tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung proses belajar mengajar, tenaga pengajar yang professional di berbagai disiplin ilmu, dan output yang dihasilkan memenuhi harapan orang tua dan mudah diterima di berbagai perguruan tinggi bonafit di negeri ini.
Di akhir pembelajaran tahunan, ketika nilai -nilai UTBK siswa anjlok secara nasional dan tingkat provinsi, biasanya sekolah favorit tampil sebagai aksi penyelamatan wajah pemerintah. " Wah ternyata pendidikan negeri ini tidak seburuk yang dibayangkan ya? masih ada peserta didik kita yang bisa ini dan itu, " Kalau ditelusur lebih jauh ternyata mereka yang telah diproses dengan sistem yang akurat dan valid. Menanggapi hal tersebut seharusnya pemerintah bukan masuk ke dalam zona sekolah, namun harus mencari jalan keluar atau terobosan baru untuk menjadikan sekolah biasa menjadi sekolah favorit.
Hemat penulis dengan APBN yang tinggi dan tingkat prosentase yang diterima dunia pendidikan cukup tinggi, rasanya tidak ada kata "tidak mungkin" untuk hal ini. Untuk mencapai hal ini transparansi menjadi pokok pembicaraan dalam pengelolan pendidikan. Jika dilihat sekilas ide seperti ini mungkin tidak diterima akal sehat, jika akal sehat berfunngsi dengan sempurna masalah seperti ini akan menyehatkan jiwa.
Ke depan, pendidikan Indonesia akan menjadi rujukan bagi negara lain seperti Finlandia saat ini. Tidak perlu berpanjang haluan mengupas hikayat pendidikan Finlandia, tetapi cukuplah kita tidak bertindak sebagai pengikut, akan tetapi bagaimana kelak kita akan ditiru dan digugu. Bukan mencontek namun sekali- kali boleh dong kita dicontek. He.. he..
2. Melipat Jarak Sekolah Membenam Kualitas
Entah kenapa filosofi di atas penulis pikir cocok dengan kondisi zona sekolah yang sudah diberlakukan di negeri ini. Sekolah- sekolah dalam rentang geografi dapat dilipat oleh sistem ini. Artinya peserta didik dan orang tua tidak perlu menghitung jarak menempuh jalan berkelok menuruni bukit dengan sepatu berlepotan lumpur menjemput pengetahuan sebagai bekal hidup, karena sistem zonasi sekolah sudah hadir di halaman rumahnya.
Masalah kualitas pada momen seperti ini bukalah hal yang diperhitungkan. Mungkin seide dan seirama dengan tujuan zonasi sekolah yaitu menyamaratakan kesempatan belajar bukan kualitas dari hasil belajar. Mungkin juga konsep yang dipakai pemerintah adalah pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara, sehingga sekat - sekat pendidikan dijadikan alat untuk mencapai tujuan .
Dengan menjauhkan kualitas pendidikan dalam mencapai tujuan pemerataan dan menjadikan pendidikan seperti buah simalakama. Sistem belajar dalam satu komunitas jauh dari majemuk akan sulit memunculkan pendidikan yang bermatbat. Penulis tidak ingin menuduh bahwa ini sebuah eksperimen nasional dalam mencari bentuk pendidikan Indonesia. Sudah menjadi rahasia publik di negeri ini bahwa setiap ganti menteri selalu sistem pendidikan menjadi objek material untuk mencapai tujuan tertentu.
3.Fokus Pendidikan Menengah Atas (SMA) Tergerus SMK
Ketika sistem zona sekolah didengungkan, nasib Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK) mulai naik daun. Walaupun sebelumnya jenjang ini sudah dibuat skala 40 : 60 ( 40 % untuk SMA dan 60 % untuk SMK). Tumpah -ruahnya alumni SMP/ MTs sederajat berlomba menuju gerbang sekolah SMK , salah satu penyebab adalah sistem zonasi sekolah yang tidak berimbang. Entah bagaimana kajian yang dilakukan, sehingga untuk jenjang SMK /MA bebas dari zonasi sekolah? Hampir semua sekolah jenjang SMA menjerit, karena imbas zonasi sekolah. Mereka mulai kekurangan rombel.
Minimnya rombel yang diperoleh tanpa penyaringan yang tepat berimbas juga pada tenaga pengajar dan proses pembelajaran yang ada di tiap sekolah. Tunjangan sertifikasi yang selama ini berada pada titik aman akhirnya berantakan.
Hal ini diperparah dengan pengakuan jam mengajar tenaga honorer yang dikelola provinsi. Jam mengajarnya dituntut 24 jam sama dengan jam mengajar PNS. Pada kondisi seperti ini muncullah guru kejar paket. Maksudnya guru tidak lagi mengajar pada satu tempat dengan jam mengajar minimal 24 jam sesuai (SOP) yang ada.
Hampir rata –rata guru SMA sejak zonasi sekolah diberlakukan mereka harus mengajar dua atau tiga sekolah dalam satu minggu pembelajaran. Belum lagi untuk pelajaran tertentu yang tidak ada jam sama sekali akibat pergantian kurikulum dan zonasi sekolah. Pertanyaan besar yang harus dijawab apakah program zonasi sekolah yang diberlakukan selama ini sudah pada posisi tepat atau malah merusak tatanan pendidikan yang selama ini berlangsung enjoy- enjoy aja?
Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini walupun terasa kritis, penulis tetap menyarankan solusi bagi pebaikan pendidikan negeri ini. Sebaiknya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan mengkaji ulang Permen No. 51 Tahun 2019, agar tujuan
Pendidikan Nasional mampu memanusiakan manusia. Sesuai dengan filosofi di atas yaitu "TUNTULAH ILMU SAMPAI KE NEGERI CHINA. " Padahal Nabi Muhammad Rasulullah SAW sebagai pakar pendidikan sejagad sudah meletakkan pondasi awal dalam hal belajar tanpa dibatasi zonasi. Pepatah itu digaungkan empat belas abad yang lalu. Sebagai generasi bangsa yang punya atensi terhadap kemajuan pendidikan kenapa harus keluar dari pendahulu kita yang dijadikan referensi dalam belajar. Filosofi “Berlajarlah Sampai ke Negeri China Kini Pupus Ditelan Zonasi Sekolah. Wallahualaalam bissawab …
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal IGI " Aceh Edukasi" , Pengurus IGI Wilayah Aceh Divisi Literasi, Esais, dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe
0 Komentar