Aku, Malaikat Kecilku, dan Bidadari

Aku, Malaikat Kecilku, dan Bidadari

 











Aku, Malaikat Kecilku, dan Bidadari

Muklis Puna

Sastrpuna.com-Perjalanan menuju Koetaraja berlangsung di hulu subuh. Malam perlahan merambat menuju pagi.  Nyanyian jangkrik riuh merebut waktu mengusir keheningan. Udara di ujung malam semakin dingin menggigit kulit. 

Aku dan dua malaikat kecilku  melawan arus pagi menuju kota sejarah peninggalan Belanda. Perjalanan ku dan dua malaikat kecilku adalah menjemput bidadari yang  mengikuti pelatihan dari tugas yang diembannya. 

Baca JugaNegeri di atas Kanvas

Kemarin, ketika malaikat kecilku yang bungsu kujemput dari pondok pesantren terkenal di kotaku, kubisiikan satu untaian kalimat ajakan di telinganya yang suci" Dek..? Mau gak kita berangkat ke Banda Aceh untuk menjemput bidadari sambil melihat - lihat kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh  ( PKA) ke- 7 yang sedang berlangsung?"

 Seperti tanah kerontang dihujam air dari langit, jawaban membusur bagai panah melesat dari induknya, Mau yah!,  Mau sangaaat..." Emang Bunda dimana Yah?" Karena sudah tiga hari yang lalu Sang bidadariku berangkat, kami sengaja tidak memberitahukan dia. 

Dengan menumpangi mobil pribadi Aku dan dua malaikat kecilku berangkat menuju tujuan berharap jumpa dengan bidadari di ujung perjalanan. Malaikat kecilku yang sering kusebut ratu jalanan tampak begitu sumringah. Pukul 4.00 Wib  dini hari dia sudah membangunkanku.

Bangun tidur pukul 4.00 Wib dinihari sudah jadi kebiasaan baginya selama ia berada di pesantren. Lalu ia begitu gesit dan lincah mengaruk- ngaruk pintu kamar abangnya agar bersiap -siap untuk berangkat. 

Jarum jam menunjukkan arah pukul 4.30 Wib Kamipun berangkat penuh harap. Pikiran dan rasa sudah duluan dikirim lewat angin dalam balutan pesan kepada bidadari.  Semua perlengkapan perjalanan sudah disiapkan dari sore hari.

Pagi begitu dingin perasaan ngantuk menyerang bola mata. Malaikat kecilku yang pertama adalah cowok , dia calon insiyurku masa depan. Tidur adalah segala- galanya baginya. Tanpa basa-basi Ia langsung mengambil posisi di samping Aku untuk menemani sang supir. Dua puluh menit mobil merayap di atas aspal Ia langsung menyambung mimpi yang tersisa. Tinggallah Aku dan malaikat kecilku yang punya kegemaran jalan- jalan dan  cita- cita kuliah di negeri Istambul menemaniku dalam perjalanan. 

Untuk menghindari kebuntuan dalam perjalanan panjang berliku, malaikat kecilku yang lagi belajar di kelas VIII MTs. Ia berceloteh panjang lebar tentang novel- novel Islami yang telah dibaca sekitar 14 novel. 

Hobinya membaca telah mengekor padanya sejak Dia masih belajar di TK. Novel -Novel milik Tere Liye dan Andrea Hirata yang mengulas kisah -kisah anak brilian telah dilahap hingga otaknya begitu lancar ketika  mengulang kaji. Sesekali kupancing dengan guyonan agar sarafnya merangsang menghindari kekakuan isi cerita yang disampaikan. 

Mobilku terus saja bergulat dengan jalan berkelok dan berliku. Matahari tampak samar- samar di ufuk timur. Sorotan cahaya bening menyoroti dari arah belakang. Kota- kota bersejarah sudah kami taklukkan. Mata semakin berat, ngantuk datang lagi melambai mesra, malaikat kecilku tampak pulas di kursi belakang. Entah kapan ceritanya terputus aku pun tidak begitu paham.

Kuputuskan berhenti di kota milik sang pahlawan nasional T.Chik Di Tiro di sebuah SPBU untuk merajang matahari pagi dan meluruskan kaki yang kelelahan mencium kloping, pedal rem dan pedal gas .

Tiba-tiba dari jauh tampaklah sebuah tempat pengisian bahan bakar. . Aku berbelok, mobilku yang ngos-ngosan berlari kuberi  jeda untuk rehat sambil melepas keram  pada roda -roda jalanan. Aku, mobilku, dan dua malaikatku berhenti melepas penatnya perjalanan malam menuju matahari menerpa bumi. Kulihat dua malaikatku terlelap pulas menata mimpi dalam kepompong sutera. Tak kuasa membangunkan keduanya, akhirnya kuputuskan untuk turun dan menyeruput segelas kopi pengusir kantuk sambil menikmati sebatang lisong pelepas kebuntuan pagi. 

Matahari terus merangsek mendaki siang, Aku dan dua malaikatku terus menapaki lika -liku lembah gunung Seulawah Agam dan Seulawah Dara. Hawa gunung mulai mengelus- elus kulit ari. Pelan- pelan merayap dalam .Di antara ragam gundukan kokoh yang satu lagi bunting lahar dan lava, satu  lagi terpaku mendongak langit penuh harap. Hawa dingin menguap menutupi pucuk -pucuk daun. Kabut -kabut tipis mengarsir  jalanan dengan sinar mentari. Aku dan malaikatku terus melaju menuju Kutaraja. 

Bayangan hiruk- pikuk perayaan budaya masyarakat Aceh di jantung kota tua  menjalar dalam pikiran.  Pameran budaya, tarian dari berbagai daerah seolah menggetarkan langit-langit Koetaraja.

Aku dan malaikatku terus saja merangsek membelah angin yang menghadang perjalanan menuju bidadari. Sesekali handphonku berdering menanyakan kabar tentarg berapa batas aspal yang telah kutinggalkan sejak malam mengulum matahari dan siang mengusir bulan.  

Perjalanan begitu asik dan melegakan, sebentar sekejap ada saja pertanyaan dari mulut -mulut mungil tentang keberadaan bidadari yang menjadi harapan akhir dari petualangan ini. 

Matahari sudah bergeser 45 derajat lintang timur, seulawah dara mulai kuturuni sampai ke l lembah. Jalan berkelok dihiasi tebing dan jurang kulewati dengan manja. Patahan sinar mematri pungung -punggung mobil yang lalu-lalang.

Akhirnya Aku dan malaikatku sampai juga di gerbang kota yang menelan puluhan jendral Belanda dalam perang panjang menghadapi gerakan heroik dari bangsa yang beradab. Pedal gas kubenam agak dalam biar roda berputar mengalahkan sumbu menuju penginapan sang bidadari. Malaikat kecilku menyapu segala bukti bukti sejarah dengan mata dan jiwa penuh kagum. 

Jeda beberapa menit, tiba- tiba Aku dan dua malaikatku sampai pada kerinduan yang tertahan selama tiga hari bumi mengitari bulan.  Bidadari cantik berbalut gaun merah tampak berdiri  penuh senyum menyapa kedatanganku. Senyum bibir penuh haru dan rindu mulai memburai ke seluruh tubuh. 

Raut wajah merah jambu dibalut kerudung menambah kegairahan mata dalam menatap dari kejauhan. Malaikat kecilku sudah lama menambang rindu, tiba- tiba melompat dan turun dari mobil lalu mendekap bidadari dalam dentingan menit melepas kerinduan. 

Perjalanan menjemput bidadari bersama dua malaikatku seperti melipat jarak antara Lhokseumawe dan Kutaraja seolah berlangsung begitu lama dan penuh tantangan. 

Akhirnya Aku, malaikatku dan bidadari langsung melepas kangen selama dua hari di Kutaraja.

*******

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar