Penyair ,Pembaca, dan Facebook
oleh: Muklis Puna
sastrapuna.com - Jangan sebut saya sebagai penyair Aceh,! Penulis merasa risih dan malu. Karena selama ini tak satupun dari penyair hebat Aceh yang mengenal penulis. Padahal penulis secara pribadi hafal betul tentang nama-nama besar penyair Aceh yang mampu menghipnotis pembaca nasional.
Deskripsi di atas adalah dialog kecil penulis dengan sahabat dekat dari Yogyakarta yang puisinya cetar membahana yaitu Ell MintoroGo. Ada lagi yang menggelitik penulis adalah ketika pada sebuah event, ada kawan- kawan penyair menyebut penulis sebagai penyair Facebook.
Menghadapi hal itu penulis santai saja. Buktinya hampir semua penyair terkenal Indonesia mereka punya akun Facebook, sebut saja Ahmadun Yosi Herfanda dan puluhan deret nama beken bertengger di akun Facebook. Apakah mereka juga disebut penyair Facebook?
Amatan penulis, Facebook ini hanya salah satu media sosial yang instan dalam berkarya. Ini yang membedakan dengan media cetak. Di samping itu menulis di Facebook mempunyai tantangan yang luar biasa.
Artinya, terdapat komunikasi dua arah yang bisa dilakukan secara spontanitas. Misalnya, saat karya diposkan di facebook tanpa menunggu putaran rotasi bumi pada matahari, postingan langsung mendapat reaksi, baik kritikan maupun pujian dengan segala koreksi dari pembaca.
Hal ini berbanding terbalik dengan media cetak. Setiap pembaca karya harus berlapang dada . Jika ada uneg-uneg ketidaksetujuan harus mengikuti birokrasi media tersebut. Akhirnya pembaca hanya menggertu dalam batin baik kagum maupun menolak.
Pengalaman penulis, hampir 100 judul puisi dikirim ke media cetak yang ada di provinsi paling ujung sumatra ini,tidak ada satupun yang dimuat
Bandingkan saja dengan penyair dahulu, tantangan menulis begitu besar. Mereka harus menempelkan karya -karyanya pada ruang- ruang publik seperti tembok, pagar, dinding gedung fasilitas umum untuk megenalkan pada masyarakat.
Rasanya beruntung penulis dilahirkan pada zaman ini, teknologi informasi begitu pesat menembus ruang dan batas sebuah negara.Jadi alasan apalagi yang harus dijawab, ketika ada pertanyaan mengapa tidak menulis?
Berkaitan hal di atas, penulis memang miskin sertifikat dan tropi. Seandainya pembaca sempat bertandang ke rumah penulis, hanya satu piagam kusam dipasak di dinding . Itupun hasil bedah kumpulan buku kawan beberapa bulan lalu.
Masalah tropi penulis juga sangat miskin, hanya tumpukan buku sastra dan bahasa yang acak-acakan dalam pustaka mini. Kondisinyapun sudah lemah lunglai karena keseringan dibaca.
Namun, sampai hari ini penulis masih bisa menulis dalam berbagai bentuk tulisan. Hampir semua tulisan penulis berada di dunia maya. Teknologi memang mematahkan segalanya. Mulai dari merangkai kata tak beraturan hingga mengacaukan alur pikir pembaca, penulis tetap sabar dan telaten. Ada harapan yang telah penulis sisipkan pada setiap tulisan atau postingan.
Berbekal Motivasi instrinsik yang penulis miliki bahwa suatu saat nanti ketika setiap hari postingan penulis bertandang pada setiap beranda, penulis yakin pasti suatu saat karya- karya penulis akan diperhatikan secara serius oleh pembaca, bahkan jika perlu dijadikan sebagai referensi dalam menulis.
Selanjutnya, penulis telah menjadikan menulis sebagai kebutuhan batin. Sebagai asupan jiwa penulis merasa yakin dan terpanggil untuk menyampaikan segala informasi dalam bentuk karya kepada pembaca. Semoga berangkat dari motivasi di atas penulis berharap suatu saat nanti semua tulisan penulis layak dipertimbangkan dalam dunia Indonesia.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe.
0 Komentar