Psikologi Penyair dalam Puisi “ HANS” Karya Heru Antoni
Oleh: Muklis, S.Pd., M.Pd.Sastrapuna.com Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa Endaswara (2011:96), Secara etimologi, psikologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu : psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Jadi, psikologi berarti ilmu jiwa. Dengan demikian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
Penulis hanya mengambil penggalan saja dari bait pertama dalam apresiasi secara psikologi. Puisi mewah seperti ini jarang sekali dianalisis dan dimaknai oleh para kritikus sastra. Hal ini mungkin ada anggapan bahwa mengapresiasi puisi dari sudut pandang psikologi membutuhkan pemahaman yang matang. Pertanyaannya bukankah sebuah puisi lahir dari gejolak jiwa yang meledak-ledak? Mengapresiasi puisi dari sudut pandang psikologi berarti membongkar tanda atau simbol yang digunakan penyair lewat gejolak batin yang begitu menyentuh naluri pembaca.
Dalam puisi “Hans” Karya Heru Antoni, penyair ini berusaha membagikan resah kepada pembaca tentang pengalaman faktual yang dibungkus dengan imaji tingkat tinggi, diksi, suasana, rima, dan makna yang begitu dalam. Pada hakikatnya penyair adalah individual yang mempunyai perasaan, pengalaman dan keyakinan yang kuat terhadap suatu masalah yang dihadapi. Perasaan dan sikap penyair selalu bersifat temporer. Artinya ia akan dipengaruhi oleh setiap peristiwa dan lakuan yang dialami. Kegoncangan jiwa penyair juga terjadi jika seseorang yang menjadi bagian tubuhnya seketika pamit pulang menuju titik akhir.
Penulis hanya mampu mengatakan “Wow... indah dan bermakna.” Tidak ada satu larikpun dari puisi ini yang bukan representasi perasaan penyair. Setiap larik yang dikemas sudah betul-betul masak dan matang, sehingga berbuah pemahaman yang begitu menyentuh sendi-sendi imajinasi pembaca. Penyair melukiskan begitu sempurnanya tokoh “Hans” dalam puisi tersebut. Nostalgia bersama sang tokoh ketika hidup dapat divisualisasi dengan sempurna lewat citraan yang kompleks. Perhatikan / saat bulan menjadi lebih sabit/ larik ini merupakan roh dari puisi ini sehingga pengembangan ke bait selanjutnya lebih terasa renyah dan menyiratkan segala pemahaman yang terarah kepada pembaca.
Pemberontakan jiwa yang begitu lembut telah menyisakan kepiluan. Tidak tampak raungan kesedihan yang berlebihan. Intinya penyair begitu sabar dalam mengelola batinya terutama rasa cintanya kepada sang tokoh. Hal seperti dapat dijadikan contoh dalam menguraikan perasaan dalam bentuk puisi yang berhubungan dengan peristiwa yang dialami oleh setiap penyair.
HANS
HERU ANTONI
mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu
menjadi hamparan tanah di kakiku.
saat bulan menjadi lebih sabit
di ujung keinginan.
saat gelap menuju kisi jalan yang tak pernah usai.
saat waktu adalah irama di tubuh kita. begitu liar
mungkin
saat kita masuk lalu tenggelam dalam botol-botol
yang
membuat kita tak lagi dapat menghafal huruf dan angka-angka.
udara
telah mendesahkan detak jantung pada setiap dindingnya
yang membuat kita tak lagi dapat menghafal huruf dan angka-angka.
udara telah mendesahkan detak jantung pada setiap dindingnya
bintang-bintang berputar.
sedang kita telah tergusur oleh gerimis
hingga terduduk di atas meja kayu rapuh
dan basah. menanti pagi dalam dingin dan mabuk
hingga muntah berhamburan.
lalu kita sama memaki bau apek di tubuh
kita. membuka pakaian.
seperti bayi merangkak dan berdiri pulang di atas kaki sendiri.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru Bahasa Indonesia pada SMA N 1 Lhokseumawe
0 Komentar