Psikologi Penyair dalam Puisi “ HANS” Karya Heru Antoni

Psikologi Penyair dalam Puisi “ HANS” Karya Heru Antoni

 

Psikologi Penyair dalam Puisi  “ HANS”  Karya Heru Antoni

Oleh: Muklis, S.Pd., M.Pd.

Sastrapuna.com Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa  Endaswara (2011:96), Secara etimologi, psikologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu : psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Jadi, psikologi berarti ilmu jiwa.  Dengan demikian  psikologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.


Ikuti Chanel Youtube Membaca Tanda-tanda

Selanjutnya, karya yang bermutu dalam kajian  psikologis, adalah karya sastra yang mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan dan perlambangan yang bersifat universal   mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan lain-lain. Dalam hal ini (Semi, 1993:77-78) mengemukakan bahwa karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri.

Untuk mempersempit ruang pemahaman  pembaca,  penulis mencoba mengapresiasi salah satu puisi karya penyair hebat  asal Lampung “ Heru Antoni” dengan judul  Hans” Menyelami puisi penyair Lampung ini seperti meminum air laut dikala pasang mengambang. Betapa  terhenyuk pikiran  penulis, ketika ledakan batin penyair dalam suasana mengharu-biru   melukiskan tokoh idolanya  “Hans”. Pemberontakan jiwa yang begitu lembut dan tidak menunjukkan rasa kecewa  pada duka yang  ditinggalkan. Perhatikan larik larik berikut! /tidurlah yang nyenyak Hans./ mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu/ menjadi hamparan tanah di kakiku./ saat bulan menjadi lebih sabit/ di ujung keinginan/ saat gelap menuju kisi jalan yang tak pernah usai/ saat waktu adalah irama di tubuh kita. begitu liar/

Setiap larik dari bait di atas menggambarkan betapa dewasanya penyair menyalurkan  rasa duka yang begitu mendalam terhadap orang yang dicintai. Kedewasaan ini dipengaruhi oleh sikap penyair dalam mengelola gejolak jiwa yang begitu lembut dan tertata. /tidurlah yang nyenyak Hans./ larik  ini kalau ditelusuri lebih dalam membuat batin  meronta meratapi kisah yang dialami penyair. Akan tetapi, penyair lebih  bijak dalam memilih diksi yang sederhana dan mempunyai nilai asosiasi yang jelas dan mengantar pembaca mengikuti alur   perasaannya. Pada larik ke dua/ mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu/  Waduh....! Penulis hampir tidak mampu melanjutkan esai ini.  Diksinya begitu menohok dan  mengena jiwa yang ditinggal oleh sang tokoh. Secara  keseluruhan  gejolak batin yang dimilki  penyair begitu bernas dan berisi.

Penulis hanya mengambil penggalan saja dari bait pertama dalam  apresiasi secara psikologi. Puisi mewah seperti ini jarang sekali dianalisis dan dimaknai oleh para kritikus sastra. Hal ini mungkin ada anggapan bahwa mengapresiasi puisi dari sudut pandang psikologi membutuhkan pemahaman yang matang. Pertanyaannya bukankah sebuah puisi lahir dari gejolak jiwa yang meledak-ledak?  Mengapresiasi puisi dari sudut pandang psikologi berarti membongkar tanda atau simbol yang digunakan penyair lewat gejolak batin yang begitu menyentuh naluri pembaca.

Dalam puisi “Hans” Karya Heru Antoni, penyair ini berusaha membagikan resah kepada pembaca tentang pengalaman  faktual yang dibungkus dengan imaji tingkat tinggi, diksi, suasana, rima, dan makna yang begitu dalam. Pada hakikatnya penyair adalah individual yang mempunyai perasaan, pengalaman dan keyakinan yang kuat terhadap suatu masalah yang dihadapi.  Perasaan dan sikap penyair  selalu  bersifat temporer. Artinya ia akan dipengaruhi oleh setiap peristiwa dan lakuan yang dialami. Kegoncangan jiwa penyair juga terjadi jika seseorang yang menjadi  bagian tubuhnya seketika pamit pulang menuju titik akhir.

Penulis hanya mampu mengatakan “Wow... indah dan bermakna.” Tidak ada satu larikpun dari puisi ini yang bukan representasi  perasaan penyair.  Setiap larik yang dikemas sudah betul-betul masak dan matang, sehingga berbuah pemahaman yang begitu menyentuh sendi-sendi imajinasi pembaca. Penyair melukiskan begitu sempurnanya tokoh “Hans” dalam puisi tersebut. Nostalgia  bersama sang tokoh ketika hidup dapat divisualisasi dengan sempurna lewat citraan yang kompleks.  Perhatikan / saat bulan menjadi lebih sabit/ larik ini merupakan roh dari puisi ini sehingga pengembangan ke bait selanjutnya lebih terasa renyah dan menyiratkan segala pemahaman yang terarah kepada pembaca.

Pemberontakan jiwa yang begitu lembut telah menyisakan kepiluan. Tidak tampak raungan kesedihan yang berlebihan. Intinya   penyair begitu sabar dalam mengelola batinya terutama  rasa cintanya kepada sang tokoh.  Hal seperti dapat dijadikan contoh dalam menguraikan perasaan dalam bentuk puisi yang berhubungan dengan peristiwa yang dialami oleh setiap  penyair. 

 

 

HANS

HERU  ANTONI

 

tidurlah yang nyenyak hans.
mungkin nama-nama itu telah menjepit tubuhmu
menjadi hamparan tanah di kakiku.
saat bulan menjadi lebih sabit
di ujung keinginan.
saat gelap menuju kisi jalan yang tak pernah usai.
saat waktu adalah irama di tubuh kita. begitu liar

mungkin saat kita masuk lalu tenggelam dalam botol-botol
yang membuat kita tak lagi dapat menghafal huruf dan angka-angka.
udara telah mendesahkan detak jantung pada setiap dindingnya
 

di matamu dunia melayang
bintang-bintang berputar.
sedang kita telah tergusur oleh gerimis
hingga terduduk di atas meja kayu rapuh
dan basah. menanti pagi dalam dingin dan mabuk
hingga muntah berhamburan.
lalu kita sama memaki bau apek di tubuh
kita. membuka pakaian.
seperti bayi merangkak dan berdiri pulang di atas kaki sendiri.



Penulis adalah Pemimpin Redaksi  Jurnal Aceh Edukasi dan Guru Bahasa Indonesia pada SMA N 1 Lhokseumawe 



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar