Puisi Gelap dalam Pandangan Pembaca

Puisi Gelap dalam Pandangan Pembaca

 










Puisi Gelap dalam Pandangan Pembaca


Sastrapuna.com-"Nah ini baru enak dibaca dan dipahami", Untuk apa tulis puisi panjang dan bahasa yang gelap susah di pahami?  Itulah pertanyaan dan komentar teman facebook di beranda penulis. Dialog panjang lebar tentang bahasa puisipun berlangsung hangat pada dua kutub yang berbeda. Segala jurus pengetahuan yang berhubungan dengan dunia kepenulisan puisi penulis keluarkan khususnya pada landing  bahasa puisi.  

Perlahan-lahan perjalanan dialog lewat mesengger bergerak menuju klimaks yang begitu panjang. Mengingat landasan pacu cukup panjang dan terjal, penulis menutup diskusi dengan memberikan kebebasan untuk menilai dan menggunakan bahasa puisi sesuai dengan keimanan puisi yang dimiliki.

Diskusi yang begitu panjang dan berujung pada saling blokir dan memutuskan tali pertemanan tanpa mengenal pribadi secara dekat, sebenarnya hanya berkutat pada masalah puisi gelap. Sudah diketahui umum bahwa bahasa puisi yang mengandung nilai sastrawi terbagi pada tiga bagian yaitu bahasa puisi yang begitu gelap, transparan dan remang- remang. Harus diakui menulis dan memaknai puisi gelap membutuhkan penalaran tingkat tinggi.


Istilah puisi gelap di Indonesia pertama sekali diungkapkan oleh penyair terkenal Indonesia " Khairil Anwar" Penyair dengan julukan binatang jalang ini pertama kali menggunakan istilah ini ketika mencoba memahami puisi Amir Hamzah. Chairil Anwar dalam esainya berjudul "Hoppla" (dimuat dalam majalah Pembangoenan Tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945). Esai Chairil Anwar itu kemudian dimuat dalam buku H.B. Jassin Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, cetakan pertama 1956, cetakan kedua 1959) http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Puisi_Gelap.

Puisi gelap ditulis dengan menggunakan diksi, majas, kias dan gaya bahasa yang interpretasinya melawan pemahaman konvensional. Artinya, bahasa puisi gelap baik diksi maupun majas lebih bersifat pada kepribadian penyair itu sendiri. 

Penyair menggunakan kias dan diksi sesuai dengan kehendak pribadi. Biasanya penyair menggunakan pertautan sesuatu objek yang bertentangan dengan penafsiran publik. Pembaca yang menggunakan pemahaman instan, Dia tidak mau menguras   pikirannya untuk memahami maksud penyair secara detail.

Sebagai contoh, penulis menyajikan puisi gelap  milik maestro kita,Amir Hamzah sebagai berikut,
 

Puisi Padamu Jua

Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.

 

Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.

 

Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas

 

Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai

 

Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku. https://brainly.co.id/tugas/10118001#readmore

 Dilihat sekilas puisi di atas begitu mudah dipahami, bahasa dan lambang yang digunakan adalah bahasa yang familiar dengan pembaca. Akan tetapi, jika ingin menyelami puisi ini pembaca membutuhkan pengetahuan sastra yang begitu tinggi. Puisi yang mengedepankan nilai religius dan begitu gelap membuat pembaca bertanya. Sebenarnya apa sih yang diusung oleh Amir Hamzah dalam puisi ini?

Hampir semua puisi milik Amir Hamzah menggunakan bahasa yang gelap. Bahkan ini sudah merupakan ciri khas beliau dalam menulis. Selain gelap puisi- puisi Amir Hamzah sering membiarkan pembaca untuk melanjutkan sendiri makna yang dipasak dalam badan -badan puisi beliau. Penulis dalam hal ini sering menyebutkan bahwa model penulisan puisi seperti ini adalah " Menggantung pembaca di tiang gantungan pada bait bait terakhir."

Banyak para kritikus Indonesia yang tertarik mengulas makna dan nilai yang ditabulasikan dalam puisi yang begitu gelap. Perpaduan bahasa yang begitu apik dan sistematis, akan tetapi sering menyelingkuhi aturan semantik dalam kaedah kebahasaan. Semiotik yang begitu gelap, sehingga beliaulah sesungguhnya tuan dalam puisinya. Walaupun para kritikus menggunakan berbagai standar baku, namun makna sesungguhnya adalah ada dalam benak penulis itu sendiri.

 Inilah yang membedakan puisi gelap dengan puisi biasa. Puisi yang menggunakan ragam sastra standar, pembaca adalah" Tuan" dari puisi tersebut (bukan penyairnya) untuk lebih terarah pemahaman pembaca, berikut penulis kutip puisi Afrizal Malna

 

MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU

Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata

tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat.

Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur.

Kita sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya

kembali dengan sampah.

Kau pergi dengan mata tidur.

tidak berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat.

Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu.

Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu.

 Keadaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.

 

Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup

menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi

benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh

kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar

terbangmu.

Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan

sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama

dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.

 

Mengamati puisi di atas penulis berpikir tampaknya tak perlu lagi diulas tentang bahasa dari puisi gelap yang menjadi topik dalam pembahasan ini.  Namun yang menjadi masalah  di sini adalah mengapa para penikmat puisi dunia maya tidak begitu familiar dengan puisi  seperti ini. Harus diakui hampir semua puisi milik penulis menggunakan bahasa yang gelap. Hal ini sering penulis diinformasikan bahwa bahasa yang penulis gunakan terlalu gelap.

Penulis beranggapan, kalau puisi ditulis dengan bahasa yang telanjang, mungkin nilai- nilai estetika yang menjadi ruh puisi jadi hambar. (He..he..tapi itukan mungkin ya?) Intinya apapun jenis bahasa yang digunakan dalam puisi tergantung interprestasi penulis terhadap obyek yang diungkapkan dalam puisi.  


Penulis adalah Pemimpin Redaksi  Jurnal Aceh Edukasi dan Guru Bahasa Indonesia pada SMA N 1 Lhokseumawe 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar