Puisi Lirik dan Karakter Penyair
Sasstrapuna.com.-Sudah menjadi konsep umum bahwa puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan mengutamakan keindahan kata-kata. Oleh karena itu, puisi dapat mengungkapkan berbagai hal. Kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan, dengan ungkapan kata-kata indah. Jenis-jenis puisi terbagi atas 3 yakni puisi naratif, puisi lirik, puisi deskriptif, di setiap jenis puisi tersebut terdapat berbagai bagian-bagian, sehingga puisi naratif, puisi lirik, puisi deskriptif terbagi-bagi lagi.
Penulis berusaha mengerucutkan pembahasan esai ini pada bagian puisi lirik saja. Sesuai konsep yang telah dipaparkan di atas, puisi lirik mengungkapkan perasaan, pikiran tentang kerinduan penyair terhadap objek dengan media bahasa yang indah.
Dalam perkembangan kepenyairan Indonesia, puisi lirik selalu mengguratkan perasaan kerinduan dan kegelisahan. Kerinduan dan kegelisahan jiwa yang ditulis penyair lebih bersifat individualitas semata. Amatan penulis, khususnya penyair yang memposting puisi di cyber sastra,mereka lebih memilih ranah kepribadian sebagai objek penyajiannya.
Kerinduan dan kegelisahan merupakan gejolak yang menggelora dalam jiwa. Pada saat imajinasi datang biasanya penyair menyambut dengan terburu-buru. Efek yang muncul adalah puisi lirik yang lahir mempunyai nilai ke-akuan cukup tinggi. Pertanyaan yang menggelikan adalah “ Mengapa penyair yang menulis puisi lirik lebih mengabdi pada mata batin pribadi secara berlebihan? “Hal ini, tidak bisa dipungkiri, jika dilihat dari proses lahirnya sebuah puisi.
Baca Juga: Pembacaan Puisi dalam Telaah Teori Sastra
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, mari kita amati contoh Puisi WS. Rendra berikut :
DOA DI
JAKARTA
WS RENDRA
Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang
tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.
Malam rebah dalam udara
yang kotor.
Di manakah harapan akan
dikaitkan
bila tipu daya telah
menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong
yang basah
siap untuk terseret dalam
gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup
sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan
masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa
jendela.
Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh
tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman
tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa
sumur dan W.C.
Hati manusia telah
menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi
gombal,
dan kata-kata menjadi
lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan
ke selatan –
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan
keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan
belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha
Hakim,
harapan kosong, optimisme
hampa.
Hanya akal sihat dan daya
hidup
menjadi peganganku yang
nyata.
Ibumu mempunyai hak yang
sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali
Kebaikanmu yang banyak
ini
Sungguh di sisi-Nya masih
sedikit
Berapa banyak malam yang
ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu
Dalam pelayanannya ia
menanggung rintih dan nafas panjang
Ketika melahirkan andai
kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya
Dari balik sumbatan
kerongkongannya hatinya terbang
Berapa banyak ia membasuh
sakitmu dengan tangannya
Pangkuannya bagimu adalah
sebuah ranjang
Sesuatu yang kamu
keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya
Dari susunya keluarlah
minuman yang sangat enak buatmu
Berapa kali ia lapar dan
ia memberikan makanannya kepadamu
Dengan belas kasih dan
kasih sayang saat kamu masih kecil
Aneh orang yang berakal
tapi masih mengikuti hawa nafsunya
Aneh orang yang buta mata
hatinya sementara matanya melihat
Wujudkan cintaimu dengan
memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu
Karena kamu sangat
membutuhkan doanya padamu
Malam rebah dalam udara yang kotor/ Di manakah harapan akan dikaitkan/ bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?/Dendam diasah di kolong yang basah/ siap untuk terseret dalam gelombang edan/Perkelahian dalam hidup sehari-hari / telah menjadi kewajaran.
Bait bait puisi sang maestro Indonesia begitu terasa dan bernuansa dalam penyajiannya. Bahasa indah memukau menghidupkan adrenalin imajinasi pembaca. Yang menjadi kupasan dalam di sini adalah bagaimana penyair memilik objek dalam puisi tesebut? Luar biasa...! Malam rebah dalam udara yang kotor/ menyiratkan sebuah kehidupan masyarakat yang ada di kota metropolitan dipenuhi berbagai kesenjangan sosial.
Selanjutnya, lirik kedua, /Di manakah harapan akan dikaitkan/ ini merupakan pertanyaan besar penyair yang membutuhkan berjuta jawaban dan tindakan /bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan/ menggelitik dan menakjubkan, begitu pekanya sang penyair dalam melukiskan gejala sosial yang ada di kota Jakarta.
Pada larik /dendam
diasah di kolong yang basah/ sebuah larik yang padat, pekat dan sarat
makna. Larik /siap untuk terseret
dalam gelombang edan/Perkelahian
dalam hidup sehari-hari / telah menjadi kewajaran? Larik- larik seperti
penggalan di atas telah mampu menghidupkan emosional tingkat tinggi sang
pembaca untuk dalam bersikap terhadap objek yang dilukiskan.
Dari sekian banyak puisi WS Rendra selalu mengambil objeknya tentang gejala sosial, fenomenal alam dan peristiwa kemanusiaan. Apakah sang maestro Indonesia ini tidak mempunyai kepekaan terhadap dirinya? Jawaban ini bisa diketahui setelah menyelami puisi- puisi beliau secara totalitas. Tidak hanya WS Rendra, penyair lain pun seperti Chairil Anwar,Sapardi Djoko Damono, Mustofo Bisri (Gusmus) dan penyair yang terkenal pada zamannya selalu berteriak lantang dalam baitnya tentang suasana sebuah rezim, perihal sosial dan peristiwa kemanusiaan.
Baca Juga: Puisi dan Keunikan Bahasa
Nah
... bandingkan dengan kita!
Sejenak kita tinggalkan WS. Rendra dan para pesohor
lainya dengan puisi mewahnya. Hampir
setiap postingan puisi di cyber sastra
selalu berkisar tentang keluhnya jiwa termasuk penulis sendiri. Mengapa para penyair masih terpasung pada
hal-hal bersifat individu. Padahal
ribuan bahkan jutaan manusia di dunia ini telah memberikan haknya untuk
disuarakan pada penyair, baik berhubungan dengan Tuhan, kemanusiaan, keadilan dan musibah- musibah besar
yang terjadi di dunia ini. Mengapa kita masih bersolek ria dalam
kelambu batin yang memuja romantisme
secara gila-gilaan? Ingat lho....! Jadi
penyair itu akan dituntut di akhirat
nantinya dengan berbagai pertanyaan melilit di leher.
Esai ini tidak bermaksud membangunkan harimau yang terlelap di balik tumpukan kertas dan tinta sebagai pelepas dahaga. Akan tetapi, esai ini hanya sebagai sentilan kecil dalam berkarya agar sekali-kali mau memindahkan mata pena untuk menulis kisah masyarakat terpinggirkan, teranianya, dan dikotomi oleh rezim di setiap negara yang ada di dunia ini. Peristiwa Palestina, pembantaian Muslim Rohingya, dan ketidakadilan lainya merupakan momen yang harus dimanfaatkan oleh sang penyair dalam berkarya.
Bukankah dengan mempuisikan hal –hal seperti itu juga merupakan bahagian dari ibadahnya seorang penyair? Akhirnya, penulis berharap esai ini dapat dijadikan refleksi diri dalam berkarya. Malu rasanya disebutkan sebagai “Penyair Salon” seperti dalam puisi WS Rendra. Masih banyak yang harus dibenah di negeri dan itu hanya dapat disuarakan lewat puisi terutama puisi lirik.Esai ini ditutup dengan kata kata bijak “Penyair yang berkualitas adalah penyair yang mampu menyuarakan hak- hak orang terpinggirkan, mampu memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsanya.” Mari kita jajaki kembali kepenyairan para pujangga, sebagai perwujudan rasa cinta terhadap budaya dan bangsa. Amin…
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA N 1 Lhokseumawe
0 Komentar