Menulislah! Jangan Takut Dikritik
Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
Sastrapuna.com-Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.” - (Stephen King)
Kutipan di atas memaparkan secara jelas bahwa menulis adalah memproduksi informasi dalam bentuk lambang bunyi secara sistematis tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Pengetahuan, pengalaman, dan perasaan tentang suatu hal atau keadaan yang pernah dialami dan diketahui oleh seorang. Selanjutnya, untuk mengerucutkan badan tulisan ini, penulis mencoba memandu dengan pertanyaan siapakah penulis itu? Penulis adalah individu atau orang yang hobinya menyalurkan segala informasi dalam bentuk tulisan. Jawaban sederhana ini menyimpan sejumlah pertanyaan berantai yang membutuhkan waktu lama untuk mengupas satu persatu. Namun ada satu pertanyaan tersisa dari masalah tersebut. Mengapa menulis dianggap susah oleh sebagian orang khususnya di Indonesia?
Hampir 12 tahun penulis bergelut dengan mahasiswa khususnya dalam hal menulis. Penulis mendapatkan berbagai kendala yang dihadapi mahasiswa dalam memaparkan idenya secara sistematis dalam bentuk tulisan. Jika ditilik dari kemampuan berbicaranya rata- rata mereka adalah singa podium yang membakar semangat audiens saat berbicara. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan menulis belum lima menit mereka langsung keok. Para mahasiswa selalu bertanya, saya harus tulis apa? Bagaimana memulai? Saya takut dikritik oleh teman dan dosen dan saya belum percaya diri.
Permasalahan yang menjadi pengantar di atas menjadi fenomenal yang menggurita di tengah kehidupan kepenulisan Indonesia. Hal seperti ini umumnya dialami oleh penulis pemula. Permasalahan utama yang dihadapi adalah minimnya kepercayaan diri yang dimiliki oleh penulis dan keberadaan sang kritikus mengintip setiap tulisan pada postingan. Padahal jika dirunut lebih dalam keberadaan kritikus yang mengkritik suatu tulisan adalah pembelajaran untuk melahirkan tulisan yang berkualitas. Setiap kritikan yang diberikan pada tiap tulisan itu menunjukkan bahwa seorang kritikus sudah menyelami lebih dalam ke relung -relung badan tulisan kita.
Baca Juga: Menulis itu Seharusnya Seperti Bernapas
Seorang penulis profesional dia akan bersemangat, jika tulisannya dikritik secara objektif. Selanjutnya, penulis seperti ini akan mengatakan “Kritiklah Daku Kau Kubayar” artinya Ia sadar betul terhadap keberadaan dan manfaat kritikan. Dalam sejarah penulisan khususnya sastra Indonesia, para kritikus tidak terasa sudah mengenalkan para penulis ke media publik melalui kritikannya. Sebagai contoh cerpen Robohnya Surau Kami Karya AA Navis ( 1956) pertama dipublish menuai kontroversi yang luar biasa di antara para sastrawan. Akan tetapi cerpen yang ditulis berulang kali ini hingga mencapai kesempurnaan mendapat sambutan yang luar biasa dari pembaca.
Bapak Krtikus Sastra Indonesia Alm. HB Yasin telah membesarkan sejumlah nama penyair Indonesia sekelas Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Ajib Rosijdi dalam tataran sastra dunia. Nah..lho…? Masih takutkah tulisan kita dikritisi ketika diposting?
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra. Pada dasarnya fungsi kritik yang dilakukan oleh kritikus adalah memberikan penilaian dan penerangan bagaimana sebuah tulisan itu layak disebut sebagai tulisan. Alasan ini memberikan benang merah bahwa sebuah kritikan mempunyai dampak hebat terhadap perkembangan tulisan itu sendiri. Untuk jelas tentang uraian di atas, dapat dilihat pada analogi berikut.
Batu akik pada dasarnya
berada di gunung -gunung dan lembah yang tidak dikenal orang. Batu tersebut
tersembunyi dalam balutan tembikar di gua -gua gelap. Akan tetapi, ketika batu
akik tersebut dibongkar dalam bongkahan dengan godaman palu dan dipotong dengan
gergaji mesin baru tampak bahwa itu memang akik. Lewat proses panjang oleh orang-orang
terampil baru batu akik terbentuk.
Proses pengamplasan dan diasah sedemikian rupa diringi dengan godaman palu,
lalu batu akik tampak mengkilap dan bercahaya dan bisa digunakan di jemari para penikmat. Kini kualitas batu bertambah
nilai dan diburu kolektor karena
bernilai jual. Begitulah tulisan yang berada pada setiap postingan lewat
kritikan dan penilaian baru berdaya
guna.
Selanjutnya, kenapa
penulis pemula sukar dalam menulis? Mungkin
pengetahuan tentang manfaat menulis belum meresap dalam benaknya.
Bukankah ketika tulisan diposting bahwa penulis sudah menunjukkan aktualisasi
diri bahwa inilah saya dan inilah pikiran saya. Di Indonesia cukup banyak orang
pintar tapi tidak menulis. Kalau ditelisik seribu satu alasan keluar untuk
melindungi diri dari ketidakmampuannya. Para akademis, guru dan mahasiswa tidak
sanggup menulis. Para suri teladan
ini yang menguasai konsep menulis secara
sistematis tapi tak mampu mengaplikasikan dalam bentuk tulisan. Para dai,
politisi, dan pengamat berkoar- koar tentang ketidakadilan di atas mimbar.
Ketika dicek biografinya tak satu pun tulisan pernah dipublish. Mereka lebih
menyembah budaya omong -dengar, bukan budaya tulis- baca
Cukup
banyak ilmu yang dimilki oleh publik
figur di Indonesian terkubur seiring ia meninggal. Fakta menunjukkan bahwa seorang penulis itu
berumur panjang. Artinya, ketika sang penulis. meninggal semua tulisannya dijadikan
rujukan bagi penulis berikutnya. Nah bukankah itu ladang amal bagi kehidupan
kita kelak? Melihat uraian di atas,
apakah masih takut dan ragu untuk menulis?
Menulis adalah sebuah
keterampilan memproduksi informasi dalam bentuk teks dan dibaca oleh pembaca.
Harus di ingat! Menulis itu untuk orang lain bukan untuk penulis. Oleh karena
itu, perhatikan karakteristik pembaca, jangan aniaya pembaca dengan tulisan
kita.
Akhirnya menulislah tentang apa saja yang bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara dengan tidak memiliki rasa takut akan adanya kritikan. Beramallah lewat tulisan sebagai ladang amal yang akan kita petik pada saat kita berpulang pada-Nya. Amin..
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar