Bidadari Berjubah Putih
Oleh : Selvia Halwa Hakki
Tania Zahara Rasyid, atau biasa dipanggil Tania, adalah seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia semester 4. Tania berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya seorang Dokter di salah satu Rumah Sakit di Jakarta, dan Ibunya adalah seorang konsultan.
Sebelumnya Tania adalah seorang murid SMA Nusa Bangsa di kota Jakarta, namun karena ada suatu kejadian menyedihkan, maka saat kelas 2 Tania terpaksa pindah keluar negeri untuk tinggal bersama kakek dan neneknya, dan melanjutkan sekolahnya di sana. Namun setelah tamat SMA, Tania kembali ke Indonesia untuk mengenyam pendidikan di tanah air untuk menjadi seorang dokter mengikuti jejak ayahnya dan agar kembali berkumpul bersama orang tuanya, apalagi Tania adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakak pertamanya adalah laki-laki bernama Ahmad Azzam Rasyid atau biasa dipanggil Azzam, yang saat ini sudah bekerja menjadi pengacara di Jakarta. Azzam adalah kakak yang sangat melindungi adiknya, bahkan cenderung posesif, karena Tania adalah adik perempuan satu-satunya yang paling dia sayangi.
Sedangkan Rhadika Sultan Permana, atau biasa dipanggil Radhi adalah adalah seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia semester 6, yang juga pernah menjadi senior Tania di SMA Nusa Bangsa dan menorehkan kisah pilu di masa SMA Tania.
Tania di masa SMA adalah murid dengan penampilan yang tidak menarik perhatian. Saat itu Tania belum pintar berdandan cantik dan cenderung tidak merawat diri. Rambutnya panjang sampai ke punggung dan selalu dikuncir kuda, memakai kacamata tebal akibat banyak membaca novel, wajah tidak terawat sehingga banyak jerawat-jerawat kecil bermunculan di pipi dan dahinya, tidak pernah ada skincare yang mampir di wajahnya, hanya bedak bayi yang menyapa wajahnya dan akan hilang tersapu keringat. Oh jangan lupa dengan kawat gigi yang terpasang.
Kilas balik saat Tania masih duduk di bangku kelas XI-3 SMA Nusa Bangsa.
Pada pagi itu, Tania seperti biasa berangkat sekolah di antar oleh Kak Azzam yang sekalian berangkat ke kantornya. Sampai di depan gerbang sekolah, Tania turun dari mobil.
“Kak, Tania duluan ya,” kata Tania. “Iya, hati-hati. Belajar yang baik lho, biar bisa jadi Bu Dokter nanti. Jangan sibuk lirik-lirik abang kelas tuh,” canda Azzam. “Ishhh, Kak Azzam ni, ada aja deh,” sahut Tania. “Udah, deh, Tania turun ya, Assalamu’alaikum,” ujar Tania sambil bersalaman dengan Kak Azzam. “Wa’alaikumsalam. Nanti Kakak jemput seperti biasa ya,” jawab Kak Azzam.
Tania pun turun dan berjalan ke arah sekolahnya. “Niaaa, tungguuu!” terdengar panggilan dari arah belakang. Tania pun menoleh dan melihat Sarah, teman sebangku sekaligus satu-satunya sahabat Tania. “Lah, baru sampai juga kamu, Sar?” tanya Tania. “Iya nih, telat banget tadi dapat angkotnya. Mana lapar pula belum sarapan nih,” jawab Sarah bersungut-sungut. “Ya udah, yuk cepetan. Kita ke kantin dulu sebentar beli roti, lumayan kan ganjal perut,” ajak Tania. “Sipppp, let’s goo,” jawab Sarah sambil menarik tangan Tania. Tania tertawa dengan tingkah sahabatnya ini.
Setelah meletakkan tas sekolah mereka di bangku kelas, Tania dan Sarah pun menuju ke kantin sambil bergandengan. “Ihhh, ada itik buruk rupa lewat, nih” terdengar celetukan dari arah kelas XI IPA 1. Tania dan Sarah refleks menoleh ke arah suara tersebut, dan melihat Mona dan teman-temannya sedang berdiri ke arah Tania sambil tersenyum mengejek. Tania pun menunduk, ternyata ejekan itu diarahkan untuk dirinya. “Udah, Nia, jangan pedulikan kata-kata Kak Mona. Dia tuh suka banget mengejek dan membully adik-adik kelas. Kita jalan aja yuk ke kantin,” kata Sarah berusaha menenangkan Tania. Tania pun menganggukkan kepalanya, mengiyakan ajakan Sarah. Mereka pun berjalan tanpa menyahut dan mempedulikan kata-kata Mona. “Cih! Udah buruk rupa, tuli pula. Lengkap deh penderitaan hidup,” ejek Mona lagi. Tania dan Sarah berjalan tanpa menoleh lagi.
Tiba di kantin, ternyata lumayan ramai juga murid-murid mengantri untuk membeli jajanan.
“Kayaknya banyak yang tidak sarapan deh hari ini, ramai banget,” celetuh Sarah.
“Mungkin karena hari Senin dan ada upacara, jadi banyak yang buru-buru kali, ya” jawab Tania. Mereka pun mengantri untuk membeli roti dan susu, untuk mengganjal perut yang lapar sebelum upacara hari Senin.
Saat mengantri, Tania melihat-lihat sekeliling kantin. Tak sengaja netranya menangkap sesosok kakak kelas yang sedang berjalan ke arah kantin. Seketika jantung Tania berdebar kencang. Kakak kelas itu adalah Radhi, murid kelas XI IPA 1, orang yang selama ini diam-diam ditaksir oleh Tania. Melihat Radhi yang berjalan ke arahnya, Tania pun merasa gugup. Dia pun pura-pura sibuk memilih roti dan jajanan untuk menutupi rasa gugupnya, dan juga agar tidak kentara sedang mencuri-curi pandang ke arah Radhi.
Radhi berjalan melewati Tania dengan acuh. Karena penampilan Tania yang jauh dari kata cantik, maka Tania luput dari perhatian Radhi. “Bu, roti cokelatnya 2 dan air mineral 1, ya” kata Radhi sambil membayar jajanannya kepada ibu penjaga kantin. Tania sangat berdebar hanya dengan mendengar suara Radhi. Sarah menyenggol lengan Tania sambil berujar, “Nia, gebetan kamu, tuh” Tania hanya dia sambil senyum-senyum malu. Kemudian Radhi berjalan kembali ke arah kelasnya, ujung matanya sempat melirik sekilas ke arah Tania yang sedang tertunduk. Radhi pun lewat tanpa menyapa atau mengucap sepatah kata pun. “Idiiihhh, ganteng sih ganteng, tapi sombong sekali gebetan kamu, Nia,” kata Sarah. “Sudah, Sarah, bukan sombong, tapi karena tidak kenal kita saja,” bela Tania. Sarah dan Tania pun beranjak kembali ke kelas.
Pada suatu hari, teman-teman Radhi mengajaknya bermain basket. Radhi yang saat itu sedang flu dan tidak fit, menolak ajakan mereka. “Halahh, baru flu segitu saja, kamu sudah menolak ajakan kita-kita nih,” kata salah satu temannya. “Aku sedang flu, jadi tidak enak badan nih. Masih terasa lemas. Lain kali saja kita mainnya,” jawab Radhi. “Lebay sekali kamu, cuma kena flu saja sampai tidak sanggup main basket. Lemah sekali kamu,” celetuk teman lainnya memancing. Teman-teman yang lainnya pun tertawa mendengar celetukan temannya itu.
Radhi pun malas mendengar ejekan teman-temannya dan terpaksa menyetujui ajakan mereka main basket. Dan karena Radhi memang tidak dalam kondisi fit, maka tentu saja tim Radhi kalah dalam permainan tersebut.
“Dhi, karena tim kamu kalah dan kamu penyebabnya, kamu harus dihukum, dong” kata teman Radhi. “Apa sih, pake hukum-hukum segala. Kalian kan sudah tahu kondisi aku sedang tidak fit, tapi kalian paksa juga. Ya jelas lah aku kalah,” sungut Radhi kesal. “Pokoknya kamu harus dihukum ya, kami tidak mau tahu. Kan biasanya juga kita main, siapa yang kalah tetap dihukum kan,” sahut temannya. “Ya sudah lah, memang kalian mau kasih hukuman apa? Jangan yang aneh-aneh, ya” jawab Radhi malas. Teman-temannya sibuk berpikir hukuman apa yang akan diberikan ke Radhi.
Saat itu, kebetulan Tania pun melintas dekat lapangan basket bersama Sarah. “Eh, bagaimana kalau hukumannya, Radhi harus berpacaran sama cewek itu selama 3 bulan?” celetuk teman Radhi sambil menunjuk Tania. “Wah, boleh juga tuh, cocok tuh hukuman untuk Radhi,” sahut teman di sebelah Radhi. Radhi menoleh ke arah Tania, dan berdecak kesal, “Apa-apaan sih, kayak tidak ada hukuman lain saja,” ujarnya. “Kami tidak mau tahu, pokoknya semua sepakat ya kalau hukuman Radhi adalah berpacaran dengan adik kelas itu selama 3 bulan,” ujar temannya. “Benar, kalau gagal, atau ternyata putus sebelum 3 bulan, kamu harus diberi hukuman lain yang lebih parah,” sambung teman-teman yang lain sambil tertawa puas.
Radhi tersenyum sinis, “Kalau cuma dekatin cewek seperti itu, seminggu juga kelar sih,” ujarnya dengan yakin. “Waaahh, semangat ya, Radhi. Kami pantau deh perkembangan kamu sama adik kelas kita tercinta,” sorak teman-temannya. “Kalau aku berhasil menjalani hukuman kalian, kalian harus memberiku uang masing-masing dua ratus ribu. Gimana?” tantang Radhi balik. “Boleh, siapa takut?” jawab teman-temannya.
Keesokan harinya, Radhi melancarkan aksinya untuk mendekati Tania. Radi melihat Tania di kantin saat jam istirahat, bersama Sarah seperti biasanya. Radhi pun berjalan ke arah Tania dan menyapanya, “Hai, Tania kan?” Tania dan Sarah terkejut karena tiba-tiba Radhi menyapanya. “Eh.. Iya, Kak” jawab Tania gugup. “Salam kenal, ya. Namaku Radhi,” ujar Radhi sambil tersenyum manis. “Salam kenal juga, Kak” jawab Tania. Jantungnya berdebar sangat kencang saat itu.
Kemudian Radhi pamit untuk kembali ke kelasnya. Saat itu murid-murid yang ada di kantin memperhatikan interaksi mereka sambil berbisik-bisik. Terutama Mona yang sangat geram melihat kejadian itu, karena Mona sudah lama menyukai Radhi.
Sejak itu, Radhi selalu menyapa ramah setiap bertemu dengan Tania.
Hingga suatu hari, Tania sedang menunggu jemputan Azzam di halte depan sekolahnya. Hari itu Tania pulang sekolah sore hari karena ada kegiatan ekstra kurikuler yang diikutinya. Namun, sudah lama menunggu, Azzam belum tiba juga menjemputnya. Di hubungi teleponnya juga tidak diangkat. Tania merasa cemas, karena sore hari begini angkutan umum juga sudah jarang melewati sekolahnya. “Duh, Kak Azzam kemana, sih? Sudah sore sekali tapi belum jemput. Bagaimana aku pulangnya, nih,” cemas Tania.
Tiba-tiba, ada sepeda motor yang berhenti di depan Tania. Tania mendongak dan penasaran siapa yang datang. “Tania, kenapa kamu masih disini? Sudah sore sekali lho,” Ternyata Radhi yang datang dan menyapa. “Eh, iya nih Kak. Saya sedang menunggu kakak saya, tapi sampai sekarang belum datang juga,” jawab Tania malu-malu. “Oh begitu. Kalau begitu, ayo aku antar saja ke rumahmu. Soalnya kalau sudah sore begini tidak ada lagi angkot yang lewat,” tawar Radhi. Tania terkejut dengan tawaran Radhi. “Tidak apa-apa, Kak, saya coba hubungi Kak Azzam dan menunggunya saja,” sahut Tania. “Begini saja. Coba kamu hubungi lagi kakak kamu, kalau tidak diangkat juga, kamu saya antar,” kata Radhi.
Tania pun mencoba menghubungi kakaknya, namun tetap tidak diangkat juga telepon Tania. Akhirnya Tania teringat dan menelepon sekretaris kakaknya, ternyata Azzam sedang rapat dengan direkturnya dan belum selesai.
“Nah, kakak kamu tidak bisa jemput kamu, kan. Ayo, aku antar, jangan membantah lagi,” ajak Radhi sambil menghidupkan sepeda motornya. Tania pun akhirnya naik ke motor Radhi dan mereka berangkat ke rumah Tania.
Sepanjang jalan Tania merasa sangat gugup dan jantungnya berdebar kencang, sampai dia takut Radhi bisa saja mendengar debaran jantungnya. Ketika tiba di depan gerbang rumah Tania, dia pun turun dari motor Radhi. “Terima kasih ya, Kak, sudah mengantar saya. Maaf merepotkan Kakak,” kata Tania sambil tertunduk malu. “Tidak apa-apa. Sebagai balasannya, aku minta nomor hapemu, dong” minta Radhi. Dan mereka pun saling bertukar nomor hape.
Dua hari setelah itu, Radhi menemui Tania di perpustakaan dan mengajak pulang bersama hari ini. Tania sangat senang dan menyetujui ajakan Radhi. Saat jam pulang sekolah, Radhi menunggu Tania di parkiran sekolah. Tania datang dan menghampiri Radhi. “Ayok kita jalan. Mampir dulu di cafe boleh, kan? Haus, nih,” ajak Radhi. Tania hanya mengangguk.
Mereka pun mampir ke suatu cafe. Tania dan Radhi pun duduk saling berhadapan. Setelah itu mereka memesan minuman masing-masing. “Tania, aku mau bicarakan sesuatu sama kamu,” kata Radhi tiba-tiba. “Ada apa, Kak?” tanya Tania. “Kamu… mau gak jadi pacar aku?” tanya Radhi sambil menatap Tania. Tania sangat terkejut mendengar pertanyaan Radhi. Dia langsung menunduk gugup dan cemas. “Tania, jawab dong,” ujar Radhi.
“Kak… Saya tidak pantas jadi pacar Kakak. Kakak kan ganteng, dan banyak cewek-cewek di sekolah kita yang suka sama Kakak. Sedangkan saya jelek, nanti Kakak malu,” jawab Tania lirih. Radhi lalu menggenggam tangan Tania. Tania langsung merasa sangat gugup, jantungnya berdebar kencang dan berkeringat dingin. “Tania, aku tidak peduli dengan cewek-cewek lain walaupun mereka cantik. Aku suka sama kamu karena kamu baik,” jawab Radhi. Tania merasa ragu karena merasa jelek dan tidak pantas menjadi pacar Radhi. Pasti murid-murid di sekolahnya akan mengejeknya.
“Kamu jangan ragu, Tania, jangan pedulikan omongan orang. Yang penting kita berdua kan,” Radhi meyakinkan Tania. Akhirnya Tania mengangguk dan mengiyakan ajakan Radhi.
Besoknya di sekolah, Radhi menjemput Tania di kelasnya dan mengajak Tania ke kantin saat jam istirahat. Murid-murid yang melihatnya menjadi heboh. Terutama Mona yang sangat kesal. Tania sangat cemas menjadi pusat perhatian di sekolahnya, dan terdengar komentar-komentar sinis untuknya.
“Sudah, kamu tidak usah pedulikan mereka. Kita jalani saja hubungan kita,” kata Radhi. Hari-hari berikutnya, Tania dan Radhi berpacaran dan itu adalah masa-masa membahagiakan bagi Tania. Radhi adalah sosok pacar seperti idamannya. Perhatian, baik, ganteng dan pintar. Mereka sering belajar bersama di cafe dan Radhi sering mengajari Tania pelajaran yang Tania tidak mengerti. Malam minggu pun mereka sering jalan-jalan bersama. Tania pun berusaha tidak mempedulikan cibiran-cibiran orang untuknya, karena yang penting baginya adalah hubungannya dengan Radhi.
Tidak terasa sudah tiga bulan mereka berpacaran. Hingga hari yang menyebabkan hati Tania hancur dan patah itu tiba.
Baca Juga: Setangkai Mawar Putih untuk Mama
Hari itu, Tania mencari Radhi di ruang OSIS dekat lapangan basket. Tania tahu bahwa hari itu Radhi bermain basket bersama teman-temannya. Saat Tania tiba di pintu ruang OSIS, terdengar suara teman-teman Radhi sedang tertawa-tawa dengan keras.
“Dhi, hebat ya kamu, betah banget pacaran dengan itik buruk rupa itu selama tiga bulan. Salut deh,” kata Aksa, salah satu teman Radhi. “Ya ditahan-tahan saja lah, daripada kalian kasih hukuman lain yang lebih parah, kan. Dan ingat, kalian sudah janji kan masing-masing akan memberiku uang 200 ribu. Mana uangnya? Cepetan!” jawab Radhi. “Kami ngaku deh kamu memang hebat”, jawab Aksa.
Betapa terkejutnya Tania mendengar percakapan Radhi dan teman-temannya itu. Dadanya sesak, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, apalagi melihat Radhi terlihat sangat senang menerima uang dari teman-temannya.
Lalu, Radhi tidak sengaja melihat ke arah pintu ruang OSIS tersebut dan melihat ada Tania di sana. Dia pun menghampiri gadis itu. “Hei, ngapain kamu di sini? Menguping, ya?” bentak Radhi. Tania terlonjak kaget mendengar bentakan Radhi, padahal selama ini Radhi selalu berbicara dengan lembut kepada Tania.
“Kak, itu tidak benar, kan? Kakak tidak benar-benar menjadikan aku permainan kalian, kan?” tanya Tania terisak-isak. “Oh, kamu sudah dengar, ya? Bagus la, jadi aku tidak perlu panjang lebar lagi bicara ke kamu. Jadi, mulai hari ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Hukuman aku sudah selesai dan hadiahnya juga sudah aku terima, jadi urusan kita sudah selesai. Aku sudah bosan banget selama ini sama kamu, aku malu selama ini jalan sama cewek jelek sama kamu. Jadi, bye bye, Tania” ujar Radhi panjang lebar sambil tertawa mengejek.
Tania merasa sangat hancur dan patah hatinya. Dia tidak menyangka bahwa sikap baik Radhi selama ini hanya permainan Radhi dengan teman-temannya. Tania sampai menangis tersedu-sedu dan berlari menjauh dari ruang OSIS, masih terdengar suara tertawa dari teman-teman Radhi. Sampai di rumahnya, Tania mengurung diri di kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar merasa hancur.
Keesokan harinya, Tania terduduk lesu di kursi kelasnya. Sarah datang menghampirinya, Tania langsung memeluk Tania sambil menangis dan menceritakan kejadian kemarin siang itu. Sarah merasa sangat marah dan geram. “Berengsek si Radhi itu, percuma ganteng tapi tingkah lakunya jahat begitu. Sudah lah, Tania, kamu tidak usah menangisi dia, buang-buang air mata kamu saja,” Sarah berusaha menghibur Tania.
Ternyata kejadian itu sudah menyebar ke seantero SMA Nusa Bangsa. Murid-murid semua menggosipkan kejadian tersebut, termasuk Mona yang sangat senang mendengar berita itu. Setiap Tania lewat, terdengar ejekan-ejekan dari murid-murid di sekitarnya. Terlontar hinaan-hinaan dari mulut jahat mereka.
Mona sampai mencegah Tania dan Sarah saat jumpa mereka di toilet. “Heh, cewek jelek! Rasakan tuh, memang enak diputusin dan dipermainkan. Kamu kebanyakan mimpi sih, mana ada cowok ganteng yang mau sama kamu yang itik buruk rupa begini. Ya gak mungkin lah. Sadar diri dong. Ngaca!” kata Mona sambil tersenyum sinis, dan teman-temannya tertawa menghina. Mereka pun keluar dari toilet setelah menghina Tania. Tania hanya tertunduk dan menangis. Sarah memeluk Tania dan menghiburnya, “Sudah, Nia, jangan didengar omongan mereka. Itu hanya omongan orang-orang jahat”
Setelah itu, banyak yang menghina bahkan membully Tania. Tania menjadi anak yang murung dan suka mengurung diri di kamarnya, dan hanya bisa menangis setiap hari.
Melihat kondisi Tania yang makin memprihatinkan, akhirnya orang tua Tania dan Azzam agar Tania keluar dari SMA Nusa Bangsa dan pindah ke rumah kakek neneknya di Inggris. Mereka ingin Tania melanjutkan pendidikannya di sana.
Akhirnya, Tania pun keluar dari sekolah yang sudah menanamkan kenangan buruk itu baginya. Hanya Sarah yang sedih dengan kepindahannya. Tania berjanji akan tetap menghubungi Sarah dan selalu berkomunikasi dengannya, karena Sarah adalah satu-satunya sahabat baik bagi Tania. Tania pun pindah ke Inggris dan melanjutkan masa SMA nya di sana.
Di rumah kakek neneknya, juga tinggal tantenya Tania bernama Mariam, adik bungsu dari ayah Tania. Tante Mariam adalah pemilik butik baju syar’i di kota tempat tinggalnya. Tante Mariam sangat memperhatikan penampilannya namun tetap menutup auratnya.
“Nia, kita perempuan harus pintar merawat diri. Berpakaian dengan baik, merawat wajah kita, namun tetap harus menjaga marwah kita sebagai perempuan. Walau kita berhijab, bukan berarti tidak boleh memakai make up, asal tidak berlebihan dan natural saja. Kita juga boleh koq ke salon untuk merawat diri, memakai baju yang fashion namun tetap syar’i,” nasihat Tante Mariam.
“Tante, aku mau seperti Tante. Cantik namun tetap berhijab,” kata Tania. “Tante ajari kamu ya, bagaimana cara kita wanita merawat diri. Kita melakukan hal itu bukan untuk menarik perhatian lelaki, tetapi untuk kita sendiri. Sayangi diri kamu sendiri, ya, Nia” kata Tante Mariam sambil mengusap sayang kepala Tania.
Sejak itu, Tania mulai belajar dari Tante Mariam caranya merawat diri, memakai make up yang natural dan cocok untuk wajahnya, mulai mengenal skin care untuk wajahnya yang selama ini tidak terawat, dan Tania sudah mulai memakai hijab. Dia juga bergabung dengan komunitas pelajar muslim di Inggris, dan saling sharing ilmu agama dalam komunitasnya tersebut. Tania bertekad untuk hijrah menjadi muslimah yang lebih baik, dan fokus untuk mengejar cita-citanya.
Tidak terasa, sudah dua tahun Tania tinggal di Inggris dan mengenyam pendidikan di sana. Tania sudah lulus SMA di Inggris. Orang tua Tania pun menawarkan agar Tania melanjutkan jenjang kuliah di Indonesia. Mereka kesepian karena hanya tinggal berdua saja saat ini, karena Azzam sudah menikah dan tinggal di rumah sendiri. Tania pun menyetujui ajakan orang tuanya, karena dia sudah merindukan tanah airnya dan juga berkumpul dengan orang tuanya kembali. Orang tua pun sangat senang karena bisa berkumpul kembali dengan Tania.
Akhirnya, Tania pun kembali ke Indonesia dengan sosok barunya. Saat ini, Tania berubah dari itik buruk rupa menjadi bidadari. Wajahnya sangat bersih dan cantik, dengan sapuan make up nya yang natural dan tidak berlebihan. Sosoknya anggun dan bersahaja dengan hijab yang menutupi kepalanya, pakaiannya juga syai’i namun anggun.
Tania pun mendaftar kuliah dan mengambil jurusan kedokteran di Universitas Indonesia, sebagaimana cita-citanya saat ini. Dia tidak tahu bahwa lelaki yang pernah menorehkan luka di hatinya itu juga sedang mengenyam pendidikan di jurusan yang sama.
Saat masa orientasi mahasiswa, sosok Tania mencuri perhatian banyak senior-senior lelakinya. Sosoknya yang bersahaja dan cantik sudah menimbulkan kekaguman di hati para pria. Namun, Tania tetap menjaga sikapnya dengan tetap menghormati para seniornya baik lelaki maupun perempuan.
Radhi yang melihat Tania, langsung mengenali Tania, adik kelas yang pernah dipermainkannya. Radhi terkejut dengan perubahan Tania yang sangat jauh berbeda dari masa SMA. Dan Radhi diam-diam mengagumi sosok Tania yang sekarang. Namun, Radhi segan dan takut untuk sekedar menyapa Tania, karena sadar diri pernah menghina Tania. Dia takut Tania benci kepadanya.
Tania juga melihat ada sosok Radhi di antara senior-seniornya. Awalnya Tania merasa kaget, namun akhirnya Tania mengacuhkan Radhi dan tidak melirik atau menyapanya sedikit pun. Tania tidak bisa melupakan perbuatan Radhi yang sudah menghancurkan masa-masa sekolahnya di SMA Nusa Bangsa dan belum mampu memaafkan Radhi sepenuhnya, walau dia sudah berusaha mengikhlaskan kejadian tersebut.
Di kampusnya, Tania menjadi sosok yang terkenal, selain cantik juga pintar. Banyak pria-pria yang menaruh hati kepadanya, berusaha mendekatinya untuk menjadi kekasihnya. Namun, Tania sudah menetapkan hati untuk hijrah, dan menolak semua pendekatan-pendekatan tersebut. Tania beralasan bahwa dia hanya mencari imam untuk pendamping hidupnya, kelak saat cita-citanya berhasil.
Saat ini Tania sudah memasuki semester 4 kuliahnya dan Radhi saat itu sudah duduk di semester 6. Tidak terasa sudah dua tahun Tania mengenyam pendidikan di kampusnya itu. Tidak sekali pun Tania menyapa atau berkomunikasi dengan Radhi.
Radhi yang saat itu sudah tumbuh benih-benih cinta untuk Tania, setelah dua tahun diam-diam memperhatikan Tania dari jauh, akhirnya membulatkan tekad untuk mendekati Tania. Dia sudah membulatkan tekad akan menerima apapun balasan atau perbuatan dari Tania.
Suatu hari Radhi menghampiri Tania yang sedang berada di perpustakaan. “Nia,” panggil Radhi pelan. Tania mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Dia sangat kaget saat melihat Radhi yang berdiri di hadapannya. Dia langsung menunduk dan mengabaikan panggilan Radhi. “Nia, izinkan aku bicara denganmu sebentar saja. Kita ke taman saja boleh, ya?” tanya Radhi. “Di sini saja, aku sibuk,” jawab Tania ketus.
Radhi lalu duduk di hadapan Tania. “Nia, aku minta maaf atas perbuatanbku dulu saat kita SMA. Aku akui, itu perbuatan yang bodoh dan kekanak-kanakan. Aku merasa bersalah padamu, Tania. Ku mohon maafkan perbuatanku, ya. Dan izinkan aku menjadi temanmu, Tania,” tutur Radhi. Tania tetap menunduk membaca bukunya dan mendiamkan Radhi. “Nia, ku mohon jangan abaikan aku lagi. Aku merasa sangat bersalah” kata Radhi lagi.
Tania menghela napas panjang. “Aku maafkan, tapi tidak untuk menjadi temanmu lagi. Aku tidak mau dibodohi dan dikhianati seperti dulu lagi. Sudah cukup sekali saja aku merasakan penghinaan seperti dulu. Apa kau tahu? Perbuatan yang kau bilang bodoh dan kekanakkan itu, sudah menghancurkan masa-masa sekolahku di SMA Nusa Bangsa. Akibat perbuatanmu dulu, aku dihina oleh semua murid di sana, aku terpaksa pindah dan berpisah dari keluargaku, dan kenangan buruk itu akan selalu melekat dalam ingatanku,” kata Tania memuntahkan semua perasaannya yang selama ini terpendam. Radhi tertunduk diam dan merasa bersalah.
“Kau minta maaf, aku maafkan. Tapi jangan harap aku mau menjadi temanmu setelah kejadian itu,” ujar Tania sambil bangkit dari duduknya dan meninggalkan Radhi. Radhi menghela napas, dan merasa bahwa tidak ada harapan untuk mendekati Tania kembali.
Waktu terus berjalan. Tidak terasa Tania sudah menduduki semester 8 kuliahnya, dan Radhi sudah lulus dan sedang menjalani masa koas nya di salah satu Rumah Sakit di Jakarta.
Saat itu, ada kegiatan sukarela yang diikuti Tania di salah satu desa terpencil di kota Bandung. Tania dan beberapa teman-temannya menjadi dokter sukarelawan untuk kegiatan tersebut selama dua minggu. Tanpa Tania tahu bahwa ternyata Radhi juga mengikuti kegiatan yang sama bersama dokter-dokter di Rumah Sakitnya.
Tiba di desa Ciptaharja, Kabupaten Bandung Barat, setelah menempuh perjalanan jauh dan medan yang lumayan sulit, rombongan Tania tiba juga. Mereka langsung di arahkan ke rumah Kepala Desa di sana, bernama Pak Dadang. Di sana mereka disuguhkan minuman hangat dan berbagai penganan. Tania dan teman-temannya asyik menikmati suguhan tersebut sambil bercengkrama.
Tiba-tiba, Radhi dan teman-temannya mampir ke rumah Pak Dadang dan melihat ada rombongan mahasiswa yang sudah tiba. Tidak sengaja, Radhi dan Tania saling bertatap mata, mereka sama-sama kaget melihat keberadaan masing-masing. Radhi sangat senang melihat ada Tania, namun Tania terlihat acuh seperti biasanya. Tania dan teman-temannya dibagi ke beberapa rumah warga untuk menginap.
Kemudian hari-hari selanjutnya, semua mahasiswa dan para dokter-dokter menjalani kegiatan sukarela tersebut di desa sambil berinteraksi dengan para warga sekitar. Tania sangat disenangi oleh warga, terutama anak-anak, karena sifatnya yang ramah dan supel. Banyak anak-anak yang hanya mau diperiksa kesehatan oleh Tania, yang mereka panggil Kakak Bidadari. Tania hanya tersenyum saja dipanggil begitu, dan dia senang karena memang dia suka dengan anak-anak. Radhi tetap memperhatikan Tania diam-diam selama kegiatan. Dia senang saat melihat Tania berinteraksi dengan anak-anak desa tersebut.
Hingga seminggu berlalu.
Sore itu, Tania ditugaskan untuk ke rumah salah satu warga yang anaknya sakit. Karena tidak memungkinkan Tania sendirian karena rumahnya agak jauh, Pak Dadang meminta Radhi menemani Tania. Tania awalnya menolak, namun Pak Dadang bersikeras hingga akhirnya Tania mengalah. Radhi sangat senang karena bisa menemani Tania, walau Tania hanya diam sepanjang perjalanan.
Saat perjalanan pulang, akhirnya Radhi membuka pembicaraan. “Nia, kamu benar-benar tidak mau bicara sedikit pun denganku, ya?” tanya Radhi pelan. Tania terdiam mendengar Radhi bertanya. “Aku benar-benar minta maaf, Tania,” ujar Radhi. Mendengar Radhi, Tania pun berpikir sepertinya sudah saatnya benar-benar memaafkan Radhi. “Aku maafkan, Kak” jawab Tania pelan.
Radhi terkejut mendengar Tania yang memanggilnya Kakak kembali. Baginya, itu artinya Tania sudah benar-benar memaafkannya. “Terima kasih, Tania. Aku janji tidak akan mengulangi perbuatanku dulu,” kata Radhi sambil tersenyum bahagia. Tania hanya tersenyum.
“Nia, aku mau bicara sesuatu padamu. Kita duduk dulu ya sebentar,” ajak Radhi. Mereka pun duduk di kursi kayu yang ada dipinggir sawah. “Tania, mungkin aku terkesan tidak tahu diri untuk membicarakan ini denganmu. Tapi aku sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan hal ini kepadamu,” kata Radhi sambil menahan rasa gugup. “Maksud Kakak apa,? Koq seperti serius sekali,” tanya Tania.
“Tania, kamu tahu saat ini aku sedang koas dan masih memperjuangkan usahaku untuk menjadi seorang dokter. Kamu juga sedang menempuh pendidikan untuk meraih cita-cita kamu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku berniat untuk melamar kamu menjadi pendamping hidupku saat aku sudah menjadi dokter nanti,” kata Radhi memantapkan hati. Tania terbelalak kaget mendengar penuturan Radhi. Dia bingung sampai tidak tahu harus berkata apa.
“Aku tidak berniat untuk menjadi kekasih atau pacar kamu, karena aku tahu kamu sudah hijrah dan tidak mau berpacaran. Begitu pun aku yang berusaha untuk menjadi lebih baik seperti kamu. Namun, aku berharap kamu mau menungguku untuk melamarmu saat aku selesai koas dan menjadi dokter nanti, dan kamu sudah selesai kuliah. Ku harap, dengan cara ini mampu menunjukkan keseriusan dan niat baikku untuk menjadikan kamu pendamping hidup aku sampai tua. Aku akan berkomitmen untuk menjaga janjiku kepadamu, Tania,” tutur Radhi panjang lebar. “Jadi, apakah kamu mau menungguku untuk melamarmu nanti, Tania?” tanya Radhi, padahal dia sangat gugup takut ditolak Tania.
Tania diam dan berpikir akan pertanyaan Radhi. Tak dipungkiri, saat ini hatinya berdebar sangat kencang. Dan harus diakui Tania bahwa dia masih memiliki rasa kepada Radhi.
Tania menarik napas panjang dan memikirkan jawaban untuk Radhi dengan hati-hati. “Aku hargai niat tulus Kakak, namun aku sangat ini tidak mau menjanjikan apapun kepada Kakak. Masa koas kakak dan pendidikanku juga masih memakan waktu sekitar dua tahun lagi. Apapun bisa terjadi dalam kurun waktu dua tahun itu, Kak. Bisa jadi Kakak menemukan wanita lain yang Kakak rasa lebih baik dari aku dan lebih pantas untuk menjadi istri Kakak. Atau bisa jadi aku yang terlebih dahulu menemukan jodohku. Lebih baik biarkan Allah yang menentukan jalan kita, Kak. Biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada ikatan janji. Kalau memang kita berjodoh, tentu Allah akan mempertemukan kita kembali,” jawab Tania panjang lebar sambil berhati-hati agar tidak menyinggung Radhi.
Radhi menghela napas panjang mendengar jawaban Tania, dan dia lega bahwa Tania tidak serta merta menolak lamarannya barusan. “Kamu benar, Tania. Tapi aku juga akan berusaha untuk berjuang meraih cita-citaku dan menunjukkan bukti perkataanku kepadamu. Selama itu pula, berusahalah kamu dengan cita-citamu. Aku akan selalu berdoa agar dipertemukan dan agar Allah berkenan untuk menjadikan aku jodohmu kelak,” jawab Radhi tersenyum tipis. Tania pun hanya tersenyum mendengar tuturan Radhi. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang.
Setelah hari itu, rombongan Tania dan Radhi pun melanjutkan kegiatan sukarela hingga akhirnya waktu dua minggu itu selesai. Mereka pun kembali ke Jakarta dan melanjutkan kegiatan masing-masing.
Hingga akhirnya waktu 2 tahun berlalu.
Saat itu Radhi sudah menjadi dokter di Rumah Sakit tempatnya koas, dan Tania sedang menjalani koas di Rumah Sakit swasta di Jakarta. Tania masih mengingat perkataan Radhi, namun dia tidak berani berharap banyak. Dalam doanya, Tania selalu meminta diberi jalan yang terbaik dari Allah. Apapun yang ditakdirkan Allah, Tania ikhlas. Walau dalam hati kecilnya, Tania mengharapkan Allah menjodohkannya dengan Radhi.
Pada suatu sore hari di hari Sabtu, Tania sedang libur dari koasnya dan sedang bersantai di ruang tengah bersama orang tuanya. Kebetulan Azzam dan keluarga kecilnya juga datang dan ikut berkumpul. Suasana sangat semarak dengan kehadiran anak kembar Azzam yang sangat lincah.
Tiba-tiba terdengar suara bel di pintu rumah Tania berbunyi. Ibu Tania bangun dan melihat siapa yang datang berkunjung. Tidak lama, Ibu kembali masuk ke ruang tengah bersama seorang laki-laki. Tania terkejut melihat bahwa Radhi yang datang. Jantungnya seketika berdebar kencang. Sudah dua tahun Tania tidak berjumpa dengan Radhi, sejak kegiatan sukarela di desa Ciptaharja yang diikutinya. Terlihat Radhi sudah lebih dewasa dan lebij gagah.
“Silakan duduk,” kata Ibu mempersilakan Radhi. Radhi pun duduk di salah satu sofa di seberang Tania. “Ada keperluan apa kamu ke rumah kami?” tanya Ayah Tania kepada Radhi.
Azzam terlihat memperhatikan Radhi dengan seksama. Dia seperti mengingat-ingat pernah melihat Radhi. “Kamu… Kamu ini kakak kelasnya Tania saat di SMA Nusa Bangsa dulu, kan?” tanya Azzam sambil menatap tajam. “Benar, Kak” jawab Radhi sopan. “Ohhhhh… Ternyata kamu yang dulu menyakiti Tania dan membuat Tania terpaksa pindah, ya?! Mau apa kamu ke sini?!” Azzam emosi. “Sudah, sudah. Kita dengar dulu apa keperluannya Radhi. Itu kejadian sudah lama, Azzam. Tania juga sudah ikhlas dan baik-baik saja kan,” Ibu menenangkan.
“Saya ke sini untuk meminta maaf kepada Bapak, Ibu dan Kak Azzam. Terutama kepada Tania. Maafkan kelakuan saya dulu yang sangat kurang ajar dan jahat. Saya sangat menyesali perbuatan saya kala itu,” tutur Radhi sambil tertunduk menyesal. Ayah terlihat menghela napas panjang. Ibu pun terdiam. “Ya sudah la. Kejadian itu sudah sangat lama terjadi. Tania pun baik-baik saja sekarang dan sudah mengikhlaskan kejadian tersebut. Mungkin hikmah dari kejadian itu, Tania menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat sekarang,” tutur Ayah.
“Terima kasih, Pak. Dan saya juga berniat untuk menyampaikan satu hal lagi terkait Tania kepada Bapak dan Ibu,” kata Radhi. Tania hanya terdiam dan berdebar-debar, apakah akhirnya Radhi menepati perkataannya dulu.
“Saya ke sini untuk menunjukkan niat baik dan keinginan saya untuk menjadikan Tania sebagai pendamping hidup saya. Saya ingin meminta izin Bapak, Ibu dan Kak Azzam untuk melamar Tania secepatnya,” kata Radhi sambil dengan tegas dan tekad kuat.
“Aku tidak setuju! Aku tidak mau lelaki yang pernah menyakiti adikku malah menjadi suaminya. Enak saja kamu. Dulu kamu hina dia. Sekarang karena dia sudah berubah dan cantik, baru kamu jatuh cinta kepadanya,” kata Azzam emosi. Radhi paham bahwa wajar bila Azzam marah karena adik yang paling disayanginya pernah menderita karenanya.
“Untuk kejadian itu, saya benar-benar minta maaf dan sangat menyesal, Kak. Namun, tidak ada yang dapat merubah masa lalu. Saya akui awalnya saya terpana dengan kecantikan Tania. Namun saya jatuh cinta bukan karena parasnya, namun karena kebaikan dan kesahajaannya. Saya selalu memperhatikan Tania diam-diam dari jauh dan tidak mau mendekatinya sebelum saya sukses meraih cita-cita saya, karena saya juga tidak mau mengganggu Tania yang sedang berjuang meraih cita-citanya sendiri,” Radhi menjelaskan panjang lebar.
“Namun saya berjanji kepada diri saya sendiri, setelah saya sukses maka saya akan memperjuangkan Tania dan menebus semua kesalahan saya di sepanjang usia saya selanjutnya. Untuk itu, saya mohon kepada Bapak dan Ibu, juga Kak Azzam untuk memberikan kesempatan kepada saya,” tutur Radhi. Tania terdiam mendengar penuturan Radhi. Dia merasa terharu mendengar ucapan Radhi. Tidak terasa air mata menggenang di pelupuk matanya.
Baca Juga: Tak Ada Ujung Jalan Tak Ada Ujung
Ayah dan Ibu terdiam mendengar perkataan Radhi, begitu juga Azzam. “Bagaimana dengan kamu, Tania? Apakah kamu bersedia menerima Radhi menjadi pendampingku? Menjadi imam kamu?” tanya Ayah. Tania masih terdiam. Ibu menghampiri Tania dan merangkulnya. “Ikuti kata hatimu, Nia” bisik Ibu.
Air mata mengalir di pipi Tania. Dalam hati Tania berucap, “Bismillah Ya Allah, semoga ini jalan terbaik untuk hamba” Dan Tania pun menganggukkan kepalanya.
Bapak dan Ibu tersenyum. Radhi pun tersenyum sambil bernapas lega. “Kalau begitu, segera bawa orang tuamu untuk melamar Tania secara resmi. Kami tidak mau ada pesta pertunangan segala, lebih baik segera dilangsungkan pernikahan saja agar tidak menimbulkan hal-hal tidak baik” kata Ayah dengan tegas. Radhi menyetujui yang diucapkan Ayah Tania.
Seminggu kemudian, prosesi lamaran pun diadakan di kediaman Tania. Dan diputuskan bahwa resepsi pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan kemudian. Selama tiga bulan itu, Tania dan Radhi hanya bertemu untuk mengurus keperluan pernikahan, dan selalu ditemani oleh Ibu Tania atau Ibu Radhi.
Tiga bulan kemudian, resepsi pernikahan pun diadakan dengan meriah. Turut mengundang teman-teman mereka dari SMA Nusa Bangsa, teman-teman kuliah dan rekan-rekan sejawat Radhi di Rumah Sakit.
“Wah, pantesan ya selama ini tidak ada cewek yang dilirik oleh Dokter Radhi, padahal banyak cewek-cewek yang melakukan pendekatan. Ternyata sudah ada bidadari yang ditunggu toh” seloroh Dokter Anwar, spesialis anak rekan sejawat Radhi. “Iya nih, Dok. Doakan kami langgeng sampai maut memisahkan ya, Dok” jawab Radhi sambil tertawa.
Mereka pun bersalam-salaman dengan para tamu undangan. Saat tidak ada tamu yang bersalaman, Radhi dan Tania duduk di pelaminan dengan wajah bahagia.
“Terima kasih kamu mau memaafkan aku. Dan terima kasih kamu mau menjadi pendamping hidup aku, menjadi istriku, menjadi ibu bagi anak-anakku kelak. Aku berusaha akan menjadi imam yang baik bagimu, Istriku, Bidadari Berjubah Putih,” ucap Radhi.
Tania hanya tersenyum manis mendengar ucapan suaminya. Ia bersyukur atas semua kejadian yang akhirnya Allah mentakdirkan Radhi menjadi jodohnya, menjadi Bidadarinya.
Penulis adalah Siswa Kelas X- 9 Unggul SMA N 1 Lhokseumawe
************
0 Komentar