Setangkai Mawar Putih Untuk Mama

Setangkai Mawar Putih Untuk Mama

Setangkai Mawar Putih Untuk Mama

Oleh : Fadhlan Sabihat Nasrullah Ronie

Sastrapuna.Com-Ini cerita seorang anak laki-laki yang terlahir di keluarga sederhana. Anak pertama dari Ayah dan Ibu yang berharap agar anaknya dapat menjadi seorang pemimpin. Anak laki-laki itu lahir dengan mata yang bersinar dan berlinang air mata. Tangisan dari ruang operasi terdengar dengan jelas memenuhi seisi ruangan. “Alhamdulillah” Ucap sang Ayah sambil menghela nafas lega. Lalu dengan air mata yang mengalir Ia menggendong anaknya, seraya mengumandangkan adzan di telinga sang anak “allahu akbar-allahu akbar”. Suara adzan yang terdengar merdu mengiringi suasana bahagia itu. 

Hari-hari berlalu, anak laki-laki itu lama-kelamaan semakin dewasa. Awalnya hanya bisa berjalan kini sudah berlari. Tubuhnya yang mungil mulai memainkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Kakinya yang bersih sudah mulai berlari-lari ke luar halaman. Dan bibirnya yang berwarna merah sudah mulai fasih mengucapkan sepatah kata yang mudah untuk diucapkan

Ibu yang cantik parasnya seperti bidadari, dan Ayah yang gagah perkasa layaknya kesatria, selalu melindungi dan menyayangi anak laki-lakinya. Hingga pada suatu masa anak laki-laki itu sudah berusia genap enam tahun. Ia menempuh pendidikan pertamanya pada saat itu, Ia bersekolah di Taman Kanak-Kanak, dengan sebuah harapan dari orang tuanya agar Ia dapat menjadi orang sukses. 

Ia menghabiskan masa-masa TKnya dengan suka cita, Ia bermain bersama, makan bersama, hingga belajar bersama teman-temannya. Hanya perlu waktu satu tahun untuk Ia menyelesaikan pendidikan pertamanya itu. Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya ke bangku Sekolah Dasar. Sang Ibu yang mengantarnya pada hari pertama sekolah berkata “Anak Mamah udah besar ya, sekolah yang rajin Nak, biar bisa jadi orang sukses”. Dengan wajah yang bingung sang anak mengiyakan “Iya Mah”. Saat pulang sekolah anak laki-laki itu membeli setangkai bunga kesukaan sang Ibu, untuk dihadiahkan. Setangkai mawar putih yang harum dan cantik, Ia persembahkan untuk sang bidadari.

Namun pada suatu momen, anak laki-laki itu harus menghadapi sebuah kemalangan yang luar biasa pedih. Pada umur delapan tahun, Ia harus kehilangan seorang Ibu. Ibu yang merupakan bidadari bagi dirinya harus meninggalkan dunia untuk selamanya.

Sejak hari itu, Ia dihantui oleh rasa takut, rasa sedih, dan kehilangan orang yang disayang, dengan air mata yang menetes Ia bertanya kepada sang Ayah “Papah, Mamah mana? “ Dengan wajah yang sedih sambil menahan air mata sang Ayah menjawab “Mamah udah pergi Nak, ke tempat yang lebih indah”. Dengan rasa penasaran anak laki-laki itu bertanya lagi “Ke mana Pah? Kok ga pulang-pulang”. Sang Ayah terpaku, terdiam dan tidak tahu ingin menjawab apa. 

Lama-kelamaan waktu, situasi, dan keadaan mulai mengajarinya sebuah arti kehidupan. Waktu terus berlalu, anak laki-laki itu harus menjalani hidup sambil dihantui kejadian itu. Tak terasa anak kecil yang tadinya tidak mengerti apapun, kini sudah mulai memahami. Ibu tidaklah pergi ia selalu hidup di hati kami. 

Pada suatu masa, sang Ayah ditugaskan ke sebuah tempat yang jauh dari genggamannya. Anak laki-laki itu harus menjalani hidup yang didasari kemandirian, pekatnya gelap pada malam hari suasana yang dingin, hingga kesepian, Anak laki laki itu harus melewatinya seorang diri. 

Empat tahun berselang Sejak kejadian itu, Ia telah menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya, dengan rasa berat hati Ia mengetahui bahwa sang Ayah memiliki pendamping hidup yang baru, dikarenakan Ia memerlukan Seseorang untuk menemaninya di masa tua. Anak laki-laki itu terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya dan pergi bersama Ayahnya ke tempat yang jauh itu.

Baca Juga: Kisah Kampung Thaif

 Anak laki-laki itu pergi dengan harapan dapat menemukan Sebuah kebahagiaan yang telah lama hilang kini Ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Anak laki-laki itu memulai hidup barunya di tempat yang jauh itu. Dengan wajah yang datar Sang Ayah berkata "Nih, kenalin Mamah kamu, hormati, Dia orang tua kamu”. Laki-laki itu mengiyakan "Iya Pah”.

Namun, Harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kebahagiaan yang hilang itu kini semakin menjauh. Sang Ibu tidaklah seperti yang dibayangkan sebuah tekanan yang besar kini semakin menjadi-jadi menghantam anak laki-laki itu.

Ia menjalaninya dengan senang hati, hingga dunia luar dan pertemanan menjadi tempat pelarian untuk anak laki-laki itu berkeluh kesah. Rumah bukan lagi menjadi tempat untuk dirinya pulang, melainkan menjadi tempat untuknya berperang melawan ketidakadilan yang menindasnya. Ia tidak ada nilainya, tidak dianggap kehadirannya, hingga tekanan itu semakin menjadi-jadi. 

Hinaan, cacian, makian, Ia terima dengan lapang dada. Bertahun-tahun Ia hidup dengan suasana mencekam, hingga tak terasa kini anak laki-laki itu telah menginjak usia 15 tahun. Bertahun-tahun Ia berusaha memenuhi harapan Almarhum Ibundanya untuk menjadi siswa yang pintar dan berprestasi. 

 Pada suatu saat, terjadilah sebuah perkelahian hebat. Anak laki-laki itu tidak terima tentang apa yang mereka ucapkan untuk Almarhum Ibundanya. Emosinya sungguh tak tertahankan mendengar sang Ibunda dihina menggunakan kata-kata yang tidak sepantasnya. Dengan wajah yang marah Ia berkata “Saya tidak peduli tentang hinaan yang kalian lontarkan untuk diri Saya, namun apabila hinaan itu menyangkut harga diri dan martabat Ibu Saya, tidak akan pernah saya toleransi hal yang seperti itu”.

Anak laki-laki itu kini hidup dengan dikelilingi opini-opini dan pandangan orang-orang terhadap dirinya. Ia tidak peduli tentang pemikiran-pemikiran itu, hingga Ia dicap sebagai anak tidak tau diri. 

Pada suatu hari, Ia meminta solusi kepada Ayahnya untuk pergi ke tempat yang lebih jauh agar Ia dapat terbebas dari situasi itu. Namun sang Ayah menolak, dan Ia hanya berkata “Sabar, cobalah jadi anak yang baik, jangan melawan”. Sang anak tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa pasrah menjalani kehidupan. 

Waktu demi waktu-pun berlalu, anak laki-laki itu harus menghadapi tekanan yang semakin menggila Ia berharap “semoga kepedihan ini suatu saat dapat menjadi sebuah kebahagiaan “. Namun situasi yang dihadapinya memaksa agar anak laki-laki itu menderita dan jauh dari kata bahagia. 

 Pada suatu momen Ia teringat akan Almarhum Ibundanya, ia menangis dikarenakan sang bidadari tidak ada di sini untuk menemaninya melewati masalah yang kini sedang Ia hadapi. Ia berpikir akan indah apabila dapat menyusul ke tempatnya sang Ibunda. Tempat yang jauh nan indah. 

 Pada suatu ketika anak laki-laki itu sudah putus asa, Ia menulis sebuah surat untuk Ayahnya, yang bertuliskan “Pah, Saya mau pergi ke tempat yang jauh, tempat yang tidak akan pernah bisa dikunjungi, Saya mau menemui Mamah”. Setelah sang Ayah membaca surat itu Ia panik, dan langsung mencari anaknya. Anak laki-laki itu mau melakukan suatu tindakan keji dan tidak terpuji. 

Namun, hal itu gagal dikarenakan Ia teringat pesan Ibundanya “jadilah orang yang sukses “. Dan Ia pun merasa malu apabila menemui Almarhum Ibundanya di tempat yang indah itu namun Ia belum memenuhi harapan sang Ibunda, hingga Ia tidak jadi melakukan hal keji itu dan bertekad akan memenuhi harapan dari sang Ibunda.

Sang Ayah merasa terkejut dan lega dan lega melihat anaknya dalam keadaan baik-baik saja, dengan air mata yang mengalir sang Ayah berkata “Maafkan Papah, yang gagal menjadi orang tua “. Anak laki laki itu kini hidup sambil menggendong harapan dari Almarhum Ibundanya, agar Ia menjadi orang sukses. 

Sungguh tak terasa anak laki-laki itu kini telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas. Karena tekad dan keteguhan dalam memenuhi harapan Almarhum Ibundanya Ia mendapatkan kesempatan untuk masuk universitas dengan bebas tes. Anak laki-laki itu memilih salah satu universitas ternama sebagai tempatnya berlabuh. Ia memilih jurusan hukum dengan harapan Ia dapat menjadi seorang jaksa yang hebat. 

Ia meninggalkan rumah untuk pergi menggapai impiannya. Dengan barang bawaan yang sederhana Ia pergi ke tempat yang lebih jauh. Ia menjalani hari-hari nya dengan seorang diri, namun itu semua bukanlah sebuah penghalang, Ia akan terus berjuang hingga titik darah penghabisan. 

Kini anak laki-laki itu sudah berusia dua puluh dua tahun, dalam kurun waktu empat tahun Ia telah berhasil mendapatkan gelar sarjana hukum yang disematkan di akhir namanya. Ia bahagia, senang karna ini merupakan sebuah awal dari kesuksesannya, namun Ia menangis karna sang Ibunda tidak ada di sini untuk melihatnya menjadi orang sukses, lalu dengan wajah yang penuh air mata Ia berkata “Mamah Saya berhasil “.

Setelah itu Ia melanjutkan pendidikannya di sekolah kejaksaan untuk menjadi jaksa seperti yang Ia cita-cita kan. Di sana Ia dilatih, ditempa, agar menjadi jaksa yang hebat. Suka dan duka Ia lewati dengan kelapangan hati sambil menata masa depan yang indah nan cerah. Dengan dibantu oleh para mentor dan senior-senior hebat Ia dibentuk agar menjadi pribadi yang jujur, tegas, dan menegakkan keadilan. 

Dalam kurun waktu enam bulan Ia berhasil lulus dan resmi memiliki julukan sebagai seorang jaksa penuntut. Seorang anak laki-laki yang memiliki latar belakang kehidupan yang mencekam kini berhasil mewujudkan mimpinya menjadi seorang jaksa, Ia menangis bahagia dan bersyukur atas pencapaiannya. 

Setelah kelulusannya sebagai jaksa, Ia ditugaskan pada kantor jaksa pusat, di sanalah awal muka kesuksesannya. Ia hanya menuntut orang-orang yang sepantasnya dihukum atas perbuatan yang mereka lakukan. Ia bertahan di tengah-tengah godaan akan kekuasaan dan uang yang selalu menghantuinya. Namun Ia bertekad untuk membela orang-orang yang haknya harus diperjuangkan dan menjadi jaksa yang menegakkan keadilan serta senantiasa berperilaku jujur. 

Lima tahun Ia telah menjadi seorang jaksa, kini Ia telah memiliki pendapatan yang lebih dari kata cukup. Anak laki-laki yang dulunya tidak mempunyai apa-apa kini memiliki segalanya. Lalu Ia bergegas pulang menuju kampung halamannya. Ia pergi ke makam Almarhum Ibundanya sambil membawa setangkai mawar putih, di sana Ia mengingat kenangan-kenangan indah yang dulu pernah tercipta. Lalu anak laki-laki itu telah sampai di makan Almarhum Ibundanya, Ia meletakan setangkai mawar putih di atas makam sang Ibunda. Setelah itu Ia berkata dengan wajah yang cerah dan bahagia “Mah, Saya pulang, Saya berhasil memenuhi harapan Mamah”.

Berita Terkait

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Mashaa Allah teruslah berkarya, anakku...perjalanan akan menjadi pengalaman hidup yang tak tergantung u menggapai asa menuju sukses,inshaa Allah...

    BalasHapus
  2. Alhamdulilah terimaksih sudah hadir

    BalasHapus