Oleh Syarifah Najwa Zain
Tak terhitung sudah berapa kali Sania dan Erika mendengar suara pecahan kaca sembari berdiam diri menahan rasa takut di sebalik pintu kamar mereka tatkala ayah dan ibunya bertengkar. Malam itu, gemuruh suara petir menggelegar semenakutkan suara bentakan dari ayah kepada ibu mereka, yang membuat hati Sania dan Erika semakin tak karuan. Satu hal yang paling dikhawatirkan oleh mereka, yaitu apabila ayah memukul atau melempari barang-barang ke tubuh ibu tersayang.
Mirisnya, apa yang mereka takutkan itu selalu terjadi di setiap ayah dan ibu mereka bertengkar. Ayah kerap memukul, mendorong, menyepak, menampar ataupun melempari ibu dengan benda-benda yang ada di rumah. Seperti tak ada harga ibu dibuatnya. Sania dan Erika tidak tahu persis apa hal yang biasanya membuat mereka bertengkar.
Namun, kali ini, Sania sempat menangkap pembicaraan mereka. Ia pun sedikit terkejut ketika mendengar bahwa ibu mereka telah diselingkuhi oleh suaminya itu. Ia tidak terlalu terkejut karena sedari dulu ia sadar bahwa ayahnya itu merupakan pria brengsek. Baik Sania maupun adiknya, Erika tidak pernah punya kenangan manis dengan ayahnya. Jika hari libur tiba, mereka hanya menghabiskan waktu bertiga dengan ibunya, sedangkan ayahnya lebih suka ke club malam bersuka ria dengan teman-temannya.
Setelah api pertengkaran terasa mulai padam, ibu masuk ke kamar Sania dan Erika meminta tolong pada Sania untuk dicarikan kain kasa, lalu ibu merebahkan tubuhnya yang lemah ke tempat tidur Erika karena merasa pusing sambil menangis atas kejadian yang baru saja yang dialaminya.
“ Erika, tolong ambilkan kakak air minum dan air di wadah kecil ! ”
Sania dan Erika panik sehabis melihat kondisi ibunya tersebut, dengan segera Sania mengambil kotak P3K dan membawanya ke hadapan ibu. Erika memberikan segelas air minum kepada ibunya. Perlahan Sania membersihkan darah yang mengalir di jidat ibunya dengan beberapa usapan air, kemudian, ia tempelkan kapas dan kain kasa diatas beberapa tetes Betadine pada jidat ibunya.
Mereka tak kuasa menahan air mata ketika melihat sang ibu diperlakukan dengan cara yang kejam nan bengis seperti itu oleh ayah mereka. Bisa-bisanya wanita secantik dan sesabar ibu mereka diperlakukan sebegitu buruknya oleh lelaki tak berperasaan itu. Setelah membalut luka ibunya, mereka ikut merebahkan diri dan memeluk ibu mereka dalam tangis.
Keesokan harinya, tampaknya ibu sudah mulai membaik. Ketika kakinya beranjak dari pintu kamar anak-anaknya, ibu mengutip pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai dan membenahi beberapa perabotan yang tercampak bukan pada tempatnya. Ibu kembali menyusun rapi rumahnya walaupun tiada yang menyusun hatinya yang hancur. Sehingga, ibu memilih untuk bercerai dari suaminya itu. Setelah beberapa kali sidang perceraian, akhirnya ibu resmi berstatus janda dua anak.
Di hari terakhir ia mengurus perceraiannya, ibu menyempatkan diri untuk menjemput Sania dan Erika karena itu merupakan rutinitasnya sehari-hari. Sania dan Erika bersekolah di tempat yang sama, dan setiap kali dijemput oleh ibu, mereka selalu menyambutnya dengan riang tawa dan senyum bahagia. Di tengah perjalanan pulang, ibu melihat ada sebuah kertas yang sengaja ditempelkan pada tiang listrik yang isinya tentang lowongan pekerjaan sebagai editor buku di sebuah penerbit baru di kota itu. Singkat cerita, ibu mencoba melamar dan akhirnya berhasil diterima di tempat kerjanya yang baru itu.
Kini, sudah berjalan hampir satu tahun ibu menghidupi kedua putrinya itu seorang diri. Ibu bekerja banting tulang siang dan malam tak kenal lelah demi memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya. Walaupun dengan gaji yang pas-pasan, ibu tak pernah mengeluh apalagi menyerah.
Keesokan harinya, sehabis mengantar kedua anaknya sekolah, ibu segera melanjutkan perjalanan menuju kantornya. Namun, di tengah perjalanan ibu merasa sangat pusing dan sakit kepala yang tak tertahankan sehingga ibu pun jatuh pingsan. Ketika tersadar, ibu membuka mata perlahan dan terheran atas apa saja yang terjadi sehingga ia bisa berada di rumah sakit saat itu.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter dan perawat menghampirinya dan menyarankan ibu untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait sakit kepala yang baru saja dialaminya tadi. Singkat cerita, setelah melewati beberapa pemeriksaan ibu dinyatakan sebagai penderita tumor otak stadium empat. Ibu menangis tidak percaya penyakit ganas seperti tumor menyerang tubuhnya, ia bingung bagaimana jika sampai anak-anaknya tahu, karena ibu tak ingin mereka bersedih.
Tapi, satu hal yang paling ia takuti yaitu bagaimana jika ia tidak bisa melihat anak-anaknya tumbuh besar dan jika nyawanya terenggut karena penyakit ini, siapa yang akan menjaga dan mengurus anak-anaknya. Ayah mereka sudah pasti tidak mau bertanggung jawab akan hal itu. Tapi ia tidak boleh menyerah, penyakit ini merupakan cobaan hidup yang harus dihadapi. Tetapi, kondisi fisik ibu saat ini sedang lemah sehingga ia hanya bekerja setengah hari saja, namun ia tidak pernah mengeluh dalam mengurusi anak-anaknya, bahkan ia masih tetap mengantar jemput Sania dan Erika ke sekolah, walaupun ia harus memaksakan fisiknya.
Sepulang mengantar anak-anaknya ke sekolah, ibu pergi ke rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Belum sampai kakinya melangkah ke ruangan kemoterapi, ia tiba-tiba saja pingsan di salah satu koridor yang ada di rumah sakit. Lantas, semua perawat yang berada di sekeliling terkejut dan langsung membawanya ke ruang rawat inap. Beberapa saat, dokter yang menangani penyakit ibu datang untuk memeriksanya, dokter Anthony. Sekitar tujuh jam setelah ditangani, ibu perlahan mulai sadar dan membuka perlahan matanya. Walaupun kepalanya masih terasa sedikit pusing, namun yang pertama kali terpikirnya setelah sadar adalah anaknya yang belum ia jemput dari sekolah. Tak lama kemudian, seorang perawat pun menghampiri ibu untuk memeriksa keadaannya.
“ Buk, Ibuk mau kemana? Ibuk gak boleh banyak gerak dulu, buk. Ibuk harus istirahat “
“ Bagaimana saya bisa tenang kalau anak saya sudah berjam- jam mengunggu saya jemput ? Cuma saya yang bisa jemput mereka, saya gak punya orang lain yang bisa dipercaya untuk menjemput mereka di sekolah “ ucap Ibu dengan panik dan sedikit bernada tinggi sambil berusaha melepaskan infusnya.
“ Tetap gak boleh, buk. Bahkan kalua ibuk lepas infusnya lebih berbahaya loh, buk “
Ibu tidak menghiraukan kata-kata perawat tersebut, ia terus berusaha melepaskan infusnya lalu, berjalan dengan sedikit tertatih-tatih menuju ke sekolah anaknya.
Sementara itu, Sania dan Erika tetap menunggu ibunya di sekolah walau Erika sudah sejak tadi menangis karena ibunya telat menjemputnya selama dua jam. Sania sebagai kakak yang baik, terus berusaha menghibur adiknya meskipun di dalam hatinya ia khawatir akan keberadaan ibunya, ia takut sesuatu yang buruk terjadi ketika ibu sedang dalam perjalanan.
Tak lama kemudian, tepat di depan mereka berdiri seorang wanita yang sejak tadi mereka tunggu. Ia menunduk memegang lututnya dengan nafas yang terengah-engah.
“ Ibu minta maaf ya, ibu telat banget jemput kalian. Tadi kerjaan di kantor ibu banyak banget, ditambah lalu lintas yang macet jadi telat, deh jamput kalian. Maafin ibu ya, nak “
Ibu berbohong demi menutupi kejadian yang sebenarnya terjadi hari ini.
“ Gak apa-apa kok, bu. Sania paham, cuma Erika aja ni yang agak cengeng “
“ Maaf. ya gadis kecil ibu “ ucap ibu sambil mengelus kepala Erika sembari tersenyum sedikit karena Erika sangat menggemaskan.
Lalu, mereka berjalan ke arah gerbang sekolah untuk pulang ke rumah. Namun, alangkah terkejutnya mereka bertiga ketika di depan gerbang sekolah sudah terparkir sebuah ambulans beserta beberapa perawat yang sudah siap di depannya untuk menjemput ibu kembali ke rumah sakit.
“ Ibu, ini ada apa bu ? kok ada ambulans ? “ tanya Sania kebingungan.
“ Gak, papa, nak. Kita naik aja dulu, ya. Nanti ibu jelaskan “
Sania dan Erika masih merasa bingung dan ketakutan ketika disuruh masuk ke ambulans, sedangkan Ibu pasrah saja dan seakan sudah paham Ambulans itu dijukan untuk siapa karena ia melihat perawat yang tadi mencegatnya untuk keluar dari rumah sakit juga ada di Ambulans itu.
Sesampainya di rumah sakit, ibu langsung didudukkan di kursi roda dengan didorong oleh perawatnya sedangkan Sania dan Erika berjalan di samping mengikuti kursi roda itu tertuju. Hingga tibanya ibu di kamar rawat inapnya, ia langsung dibaringkan dan dipasang infus dan alat-alat medis lainnya. Sania dan Erika semakin kebingungan.
“ Ibu kenapa? Kok ibu diinfus? Emang ibu sakit apa ? tukas Sania.
“ Iya, bu. Kenapa ibu gak pernah bilang sama kita bahwa ibu sakit ? Aku sedih ibu sakit “
tambah Erika.
“ Gak apa-apa kok, sayang. Ibu Cuma kelelahan, jadi harus diinfus sebentar “ jawab ibu.
Sekitar sepuluh menit kemudian, dokter Anthony masuk ke ruangan dan bertanya terkait kondisi ibu dengan perawat yang ada disitu. Dokter Anthony menghampiri ibu dan memeriksanya, di genggaman dokter Anthony terdapat beberapa lembar kertas yang berisi setiap rekam medis yang ibu jalani. Sebelum masuk ke topik yang serius, Dokter Anthony menyapa Sania dan Erika.
“ Hai, anak-anak manis. Siapa namanya ? “ tanya dokter Anthony.
“ Halo, dokter. Nama saya Sania dan ini adik saya Erika “ jawab Sania.
“ Dokter, ibu sakit apa ? kok ibu dirawat di rumah sakit ? “ Erika menambah.
“ Tidak apa-apa, nak. Jangan panik, yaa. Doakan saja ibu cepat sembuh, “ ucap dokter sambil mengelus kepala Erika.
“ Sekarang, dokter mau minta tolong sama kalian untuk keluar dulu sebentar, boleh? Dokter mau periksa ibu kalian “
“ Sania, Erika keluar dulu ya, nak. Nanti masuk lagi, gak lama, kok. Cuma lima menit “ kata ibu.
Sania dan Erika pun melaksanakna perintah ibunya. Setelah pintu ditutup dari luar oleh mereka, dokter Anthony langsung memaparkan kondisi kesehatan ibu lewat rekam medis yang dibawanya.
“ Bu Anna, kondisi kesehatan ibu akhir-akhir ini sudah sangat parah bahkan sel tumor di kepala ibu sudah menyebar ke organ lain juga. Dengan berat hati saya katakan bahwa sisa umur ibu tidak lama lagi, saya tidak bisa pastikan sampai kapan karena tentang kematian hanya Tuhan yang tahu. Bu Anna yang sabar, yaa. Saya juga akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan penyakit Bu Anna “
Mendengar hal itu Ibu langsung menangis, ia terus memikirkan anak-anaknya, ia tak ingin berpisah dari anaknya. Dokter Anthony segera keluar ketika selesai memberikan paparan tentang penyakit ibu. Sania dan Erika yang telah menunggu diluar pun langsung masuk ke ruangan ibunya setelah melihat dokter Anthony keluar.
Melihat anak-anaknya memasuki ruangan, Ibu segera menghapus air matanya secepat mungkin dan hanya menyisakan senyuman untuk menyambut anak-anaknya itu. Ibu terus menjawab kondisinya baik-baik saja ketika Sania dan Erika bertanya perihal penyakit ibu. Semenjak ibu dirawat di rumah sakit, anak-anaknya juga tidur di rumah sakit menemani sang ibu. Erika tidur di samping ibu di ranjangnya, sedangkan Sania tidur di sofa.
Ulang tahun Erika tersisa dua hari lagi, ibu tahu bahwa akhir-akhir ini Erika sangat menginginkan kotak musik. Ia sangat suka mendengar alunan melodi dari kotak musik, sangat menenangkan katanya. Untungnya, sebelum dirawat secara intensif di rumah sakit, ibu sudah duluan membeli kotak musik berwarna merah muda dengan patung balerina kecil yang tak lelah menari walau diputar berkali-kali.
Dan hari itu pun tiba, bangun tidur di pelukan ibunya, Erika sangat senang dan tak hentinya menyoraki ibu dan kakaknya bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Padahal, kakak dan ibunya sudah tahu namun ia sangat kegirangan di hari itu. Ia penasaran kado apa yang akan diberikan oleh kakak dan ibu di hari ulang tahunnya kali ini.
Malamnya, Sania dan ibu memberikan kado yang telah mereka siapkan untuk Erika. Ia mendapatkan kue tart dari sang kakak, sedangkan ibunya menghadiahkan kotak musik. Ia sangat senang sekaligus terharu karena ternyata ibunya tahu apa kado impiannya di tahun ini. Setelah memotong kue, membuka kado dan memanjatkan doa, mereka bertiga tidur bersama diatas ranjang ibu sambil berpelukan, Erika di sisi kanan sedangkan Sania di sisi kiri ibu.
Tak lupa Erika memutarkan melodi kotak musiknya. Setiap kali musiknya berhenti, ia meminta kakaknya untuk memutarnya kembali karena kotak musik itu terletak diatas meja di samping kakaknya. Karena sudah pukul sepuluh malam, Sania mengantuk dan tidur lebih dulu dari adiknya.
Sebenarnya, Erika pun sudah sangat mengantuk namun, ia tetap ingin memainkan kotak musiknya. Sehingga, ibu berinisiatif untuk mengambil alih tugas kakaknya yang telah tertidur dengan memutarkan kotak musik itu untuk Erika. Setelah putaran terakhir kotak musik, ibu mencium kening kedua anaknya itu hingga tetesan air mata ikut membasahi kening mereka. Lalu, ibu pun ikut tertidur lelap bersama mereka. Namun, siapa sangka bahwa itu merupakan saat-saat terakhir ia di dunia, kecupan terakhir dan kenangan terakhir yang bisa ia berikan pada kedua anaknya. Di malam itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
0 Komentar