Oleh: Mukhlis, S.Pd.,M..Pd.
Sastrapuna.Com. Surat Asy Syu’araa (221-227) Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun pada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang pendusta.
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidaklah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasannya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
Baca Juga:
Jika dibaca sepenggal dengan pemahaman yang dangkal. Tersirat keresahan dalam jiwa seorang penyair. Ayat di atas mengungkapkan bahwa betapa perlunya kehati- hatian dalam menulis sebuah puisi.
Pada abad ke 6 masehi sebelum Nabi Muhammad Saw lahir dan diwisuda oleh Allah sebagai rasul akhir zaman, bangsa Arab sudah membuat patung atau berhala untuk disembah dengan berbagai mantra.
Selain itu, mereka juga sudah membacakan syair atau puisi dengan menggunakan alat musik. Ternyata musikalisasi puisi bukan kreativitas baru dalam membaca puisi. Pada zaman tersebut lebih dikenal dengan sastra jahiliah.
Seiring waktu berjalan peradaban Arab mulai berubah dengan hadirnya penghulu alam Nabi Muhammad SAW. Jika disimak secara saksama tentang mukjizat yang dimiliki oleh setiap Rasul Allah sangat dipengaruhi oleh kegemaran yang dimiliki oleh umatnya.
Misalnya, kenapa Nabi Musa diberikan mukjizat tongkat ketika dilempar berubah menjadi ular raksasa dan menelan ular ular tukang sihir pada waktu itu. Ini dikarenakan bangsa Bani Israil lebih menyukai sihir.
Selanjutnya, kenapa Nabi Ibrahim menghancurkan semua patung Latta, lalu dimasukkan dalam api dan tidak terbakar. Karena kaum Nabi Ibrahim lebih menyenangi patung.
Lalu kenapa Nabi Isa diberi mukjizat bisa menghidupkan orang mati. Karena kaum Isa lebih menggemari ilmu tabib atau terapi penyembuhan. Nah Nabi Muhammad SAW diberi mukjizat Alquran dengan bahasa yang indah dan halus, karena secara umum bangsa Arab pada waktu itu dan sampai sekarang paling senang bersyair pada setiap kesempatan.
Pada masa khalifah Umar Bin Khatab, setiap puisi yang bagus dan menggugah keimanan dipajang di dinding kakbah. Sayyidina Ali pernah pernah berkata' kalau ingin anakmu cerdas ajari dia sastra' Ungkapan dari sahabat Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan bahwa bahasa sastra punya nilai rasa yang tinggi.
Dari beberapa buku yang penulis baca bahasa sastra selain bernilai estetika juga berpengaruh terhadap kehidupan, baik individu maupun kelompok. Perkembangan sastra Indonesia sendiri dimulai dari peradaban bahasa Melayu. Muncullah tokoh tokoh seperti Hamzah Al -Fansuri sebagai penyair yang mendunia khususnya Asia Tenggara. Pujangga asal Aceh ini telah meletakkan dasar -dasar perpusian Indonesia lewat syairnya yang terkenal yaitu ' Syair Perahu' .
Walaupun literatur dan manuskrip syair beliau sulit ditemukan. Kebanyakan hasil karya sang pujangga ini atau ulama besar dari Aceh yang menuntut ilmu di Arab Saudi dibakar oleh rivalnya yaitu Nuruddin Ar Raniry Ketua Majelis Ulama pada masa kerajaan Iskandar Muda menganggap semua karya Hamzah Al -Fansuri mengandung kesyirikan.
Akhirnya, ulama Aceh kelahiran Agra (India) membakar semua karya hebat milik sang pujangga dunia. Untuk menyegarkan ingatan pembaca, berikut penulis sajikan sepenggal syair beliau.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Dari penggalan syair di atas.dapat dilihat bahwa betapa seorang penyair yang mendunia ini membandingkan kehidupan manusia dengan perahu yang berlayar di laut lepas. Syair yang begitu indah ini telah dikaji secara ilmiah dalam berbagai judul skripsi dan tesis di universitas terkemuka.
Selanjutnya, ada juga gurindam dua belas yang dipelopori oleh seorang ulama dari Riau, Raja Ali Haji dengan karya terkenal Gurindam Dua Belas.
Kedua karya hebat milik pujangga terkenal membuktikan bahwa sastra Indonesia dibentuk dan dipengaruhi oleh sastrawan Islam dan karyanya lewat bahasa melayu sebagai medium penyampaiannya. Hamka (1963) dan Hamid (1984) : Sastra melayu Islam adalah karya sastra yang menghargai wahyu.
Bagi sastra melayu kegiatan sastra tak mungkin terwujud tanpa sandaran kepada moral Islam, sebab sastra yang lahir tanpa kaidah moral (aqidah) akan menjadi sastra yang liar dan dapat membahayakan akal-budi manusia.
Merujuk pada puisi yang diciptakan oleh penyair selama ini khususnya yang berhubungan dengan ketuhanan dalam konsep Islam, sebagian memunculkan makna yang kontroversi di kalangan pembaca.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah pengaruh pengetahuan ketuhanan atau tauhid yang dimilki penyair masih minim? Ataukah sang penyair mengembara dengan ilmu tasawuf dalam lautan diksi, sehingga banyak pembaca berkerut kening berlipat saraf membongkar makna?
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut dibutuhkan perenungan oleh penyair. Bukankah penyair yang menulis puisi secara berlebihan mereka sedang berdiri dibibir jurang kesyirikan.
Dalam pandangan penulis telaah dan postingan puisi dalam sastra maya selama ini telah menyeret pembaca dalam halusinasi tingkat tinggi. Penulis tidak menyangkal bahwa banyak penyair yang memposting dan menelaah puisi berlatar belakang tasawuf.
Mengingat pembaca satra maya kebanyakan para pemula dengan sumber daya intelektual dan status sosial yang beragam perlu kiranya dicarikan diksi yang transparan dan mudah dicerna oleh pembaca. Penulis beranggapan bahwa ilmu tasawuf dalam Islam adalah pagar untuk membentengi tauhid, fikih dan syariah. Jadi fikih, tauhid dan syariah adalah tanaman dalam pekarangan tasawuf.
Simpulan:
Ternyata Islam sebagai agama rahmatan Lil amin berperan besar dalam perkembangan sastra dunia khususnya di Indonesia.Setiap kreativitas kebahasaan dalam berpuisi islam memberikan keluasan dan kebebasan.asal tidak bertentangan dengan nilai tauhid yang dianut.Kreativitas berpuisi dalam islam lebih mulia jika dijadikan sebagai media dakwah dalam menyampaikan risalah dan syiar syiar keislaman. Wallahuaklambissaswab...
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jiurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
0 Komentar