Kekerasan Verbal Masih Dianggap Sepele

Kekerasan Verbal Masih Dianggap Sepele

Oleh : Nikita Putri Namora Sende Hasibuan

Kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan secara non-fisik oleh beberapa orang atau lebih, yang mana kekerasan ini menggunakan lisan dalam penyerangannya. Kekerasan  memiliki makna adalah kekerasan yang dilakukan oleh kata-kata dan tanpa menyentuh korban. Kekerasan ini biasa dilakukan oleh orang yang lebih superior pada orang yang lebih inferior. Kekerasan verbal ini masih dianggap sepele karena tidak adanya bukti ketika korban menerima kekerasan ini dari sang pelaku. 

Baca Juga:Maraknya Perampokan di Kota Lhokseumawe Akibat Permasalahan Hutang- Piutang

Maka bisa kita pahami bahwa kekerasan verbal (Verbal Abuse) adalah setiap ucapan yang ditujukan kepada seseorang yang mungkin dianggap merendahkan, tidak sopan, menghina, mengintimidasi, racist, seksis, homofobik, ageism, atau menghujat. Termasuk membuat pernyataan sarkastik, menggunakan nada suara yang merendahkan atau menggunakan keakraban yang berlebihan dan tidak diinginkan. Terkadang pelaku juga tidak sadar bahwa mereka melakukan kekerasan verbal terhadap korban. Sebaiknya kekerasan verbal tidak bisa dianggap sepele baik bagi kita sendiri, maupun orang lain sebagai inisiatif untuk mengurangi angka kekerasan verbal di Indonesia.

Kita tidak bisa menganggap kekerasan verbal ini hal sepele karena kekerasan verbal dapat menganggu kesehatan jiwa (mental) seseorang yaitu sang korban. Mengapa bisa menganggu kesehatan jiwa (mental)? Karena kekerasan verbal adalah perilaku yang dimana mengeluarkan kata-kata kasar atau negatif dari sang pelaku, dan korbannya ini sudah pasti tidak senang atau tidak suka dari ucapan tersebut. Maka munculnya rasa tidak enak hati yang mungkin dipendam oleh sang korban sehingga dapat terjadi terganggunya kesehatan jiwa (mental) dari sang korban. Dan apabila kesehatan jiwa (mental) dari sang korban telah terganggu, maka kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang dapat menyakiti dirinya (sang korban) dan menyakiti orang di sekitarnya sangat besar. Oleh karena itu kita harus lebih selektif dalam berbicara, agar tidak terjadinya kekerasan verbal ini baik disengaja maupun tidak disengaja.

Kemudian kekerasan verbal tidak bisa dianggap sepele karena pelaku kekerasan verbal sudah pasti mengalami kerusakan moral yang terikat pada dirinya. Dengan melakukan kekerasan verbal, moral atau sopan santun pada dirinya yaitu sang pelaku sudah pasti tercoreng. Ditambah lagi, apabila sang pelaku dengan sengaja nya dan dengan rasa sepertinya melakukan kekerasan verbal maka seluruh moralnya akan hilang pada dirinya

Baca Juga:Transparansi Pemilihan Ketua dan Wakil OSIS di Sekolah

Ketika moral sudah hilang, rasa simpati atau respect orang lain terhadap sang pelaku pasti akan memudar bahkan sudah tidak ada lagi. Logikanya saja untuk apa merespon orang yang suka melakukan kekerasan verbal? Yang ada apabila kita merespon mereka kita bisa menjadi salah satu korban dari kekerasan.

 

Kekerasan verbal jika dilakukan secara terus menurus maka akan meningkatkan angka kekerasan verbal yang terjadi di Indonesia,  yang seharusnya angka kekerasan verbal ini turun tetapi tidak terjadi sesuai harapan yang ada kekerasan verbal semakin tinggi atau melonjak. Di Indonesia setiap tahunnya selalu menaikkan atau menambahkan angka kekerasan verbal yang terjadi, maka dampak negatifnya yaitu perspektif negara lain terhadap negara kita bisa menjadi buruk. Citra, julukan, dan kehormatan kita sebagai negara yang ramah, bisa berubah menjadi negara yang krisis moral karena tingginya angka kekerasan verbal di negara kita.

 

Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal dikenal dengan dengan kekerasan yang terjadi secara non-fisik atau secara lisan. Untuk jelasnya. Kekerasan verbal adalah kekerasan psikologis yang bisa terjadi secara isyarat, lisan, dan tulisan yang ditujukan kepada seseorang atau korban. Tindakan kekerasan verbal dapat mencakup seperti melecehkan, melabeli, menghina, meneriaki, memarahi seseorang secara berlebihan. Kekerasan verbal telah terjadi dengan presentase 62% pada tahun 2020. Tetapi pada tahun 2023 ini angka kekerasan verbal yang terjadi tidak kunjung menurun, melainkan melonjak dengan presentase sekitar 87,6 % di tahun 2023 bulan Mei.

Adapun tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kekerasan verbal yang sering terjadi di sekitar kita adalah sebagai berikut :

 Name-CallingM

erupakan nama panggilan yang bernada hinaan atau mengata-ngatai seseorang dengan mengganti namanya menjadi sebutan yang lain. Misalnya, “kalau kamu tidak paham-paham materi ini berarti kamu tolol”.e

Degrasi

Ucapan dilontarkan agar seseorang merasa bersalah terhadap dirinya sendiri dan menganggap dirinya tidak berguna. Misalnya  “kamu ga bisa jadi apa-apa kalau tidak ada bapak kamu”a

Mnipulasi

Kata-kata yang diucapkan dengan tujuan memerintah, tapi tidak dengan kalimat imperatif. Misalnya, “kalau Kamu memang mempunyai keperdulian dengan target dari organisasi kita, kamu tidak akan melakukan hal itu”.

Menyalahkan

Semua orang tentunya pernah berbuat salah dan hak tersebut merupakan hal yang manusiawi. Namun, orang yang melakukan kekerasan verbal akan menjadikan kesalahan tersebut sebagai pembenaran atas tindakan mereka, misalnya dengan berkata “aku harus menyalahkan kamu karena hal ini sudah saya jelaskan, tapi kamu maha ga dengerin saya!”

Merendahkan

Ucapan ini akan keluar ketika si pelaku kekerasan verbal berniat mengerdilkan lawan bicaranya dan di saat yang bersamaan membuat dirinya lebih superior. Misalnya “pendapat kamu itu ada benarnya sih, tapi lebih baik kamu tidak usah berpendapat saja”.

Kritik Berkelanjutan 

Kritik adalah adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.Namun dalam kekerasan verbal, kritik tersebut  dilakukan dengan cara yang kasar dan dilakukan terus-menerus sehingga korbannya akan menjadi rendah diri.

Kemudian kekerasan verbal adalah kekerasan yang lebih sering terjadi dibandingkan kekerasan fisik. Karena bisa kita amati kekerasan fisik yang sering terjadi disekitar pasti telah terjadi dahulu kekerasan verbal antar satu sama lain, yang mana dari tidak terimanya salah satu pihak ketika mengalami kekerasan verbal. Maka bisa kita simpulkan bahwa lebih sering terjadi kekerasan verbal dibandingkan kekerasan fisik. Untuk itu, kita tidak boleh sepele oleh kekerasan verbal karena kekerasan verbal bisa memicu terjadinya kekerasan fisik.

Selanjutnya, “Survei Jakpat menunjukkan, kekerasan verbal merupakan jenis bullying yang paling banyak dialami oleh korban dengan persentase mencapai 87,6% responden. Diikuti oleh kekerasan fisik dan cyber bullying dengan persentase masing-masing sebanyak 27,5% dan 19,6% responden. Selain itu, ada juga responden yang mengalami jenis bullyinglainnya sebanyak 0,9%.

Adapun, survei tersebut dilaksanakan secara daring pada periode 14 Maret 2023 melalui aplikasi Jakpat dengan jumlah responden yang berpartisipasi mencapai 2.929 orang. Jenis pertanyaan survei adalah multiple answer, di mana responden diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud) mengaku kekerasan dan bullying masih menjadi konsen utama dalam dunia pendidikan. Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Budaya (Mendikbud) memaparkan bahwa masih ada 24,4% potensi bullying di lingkungan sekolah. Survei itu melibatkan sekitar 260 ribu sekolah di Indonesia pada level SD/Madrasah hingga SMA/SMK dengan jumlah 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru/pengajar. https://goodstats.id/article/kekerasan-verbal-jadi-jenis-bullying-yang-paling-banyak-dialami-masyarakat-rkXuT. Diakses7 September 2023.

Alasan Terjadinya Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal ini bisa terjadi akibat latar belakang sang pelaku, pelaku kekerasan verbal merupakan salah satu dari korban kekerasan verbal juga. Mengapa begitu? Karena sang pelaku memiliki rasa kurang percaya diri sehingga dia menggunakan orang lain yang lebih lemah dari ia sendiri sebagai bentuk yang bisa dilampiaskan karena rasa kurangnya percaya diri. Ia berpikir bahwa dengan melampiaskannya kepada seseorang yang lebih lemah darinya agar dapat mendominasi atau lebih menonjol dan rasa kurang percaya diri itu pun berkurang.

Kemudian untuk apapun alasan yang dapat memicu kekerasan verbal ini tidak dapat dibenarkan, kekerasan verbal tetaplah suatu hal yang buruk dan bahkan bisa menjerumuskan pelaku ke tanah hukum. Hal ini tentunya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk dapat selalu bersikap bijak dan mampu mengendalikan emosi atas segala tindakan kita lakukan, baik ucapan maupun tindakan fisik, sehingga menghindari kita dari masalah hukum nantinya .

Selanjutnya, “Trauma akibat kekerasan verbal membutuhkan waktu yang lama hingga dapat dipulihkan melalui terapi oleh ahlinya, mengingat sifatnya yang tak nampak. Kalau seseorang yang menjadi ‘korban’ telat untuk dipulihkan dan diobati, akan muncul kecenderungan dikemudian hari bahwa ia juga akan melakukan kekerasan verbal yang sama kepada orang lain. Biasanya ketika ia merasa ada orang yang menurutnya lebih lemah dari dirinya, maka ia akan merendahkan orang tersebut secara verbal dan menggunakan kata-kata yang kasar. Jika diperhatikan, sebenarnya tujuan utama melakukan kekerasan verbal ketika menemukan orang yang ia rasa memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan dirinya adalah demi mendapatkan rasa percaya diri. Sebab pada umumnya, pelaku kekerasan verbal memiliki krisis percaya diri akibat trauma masa lalunya. Dia percaya bahwa dengan menyakiti orang lain yang lebih lemah dari dirinya, maka ia akan merasa mendominasi dan lebih memiliki rasa percaya diri. https://life.indozone.id/news/amp/43770064/perhatikan-ternyata-ini-penyebab-terjadinya-kekerasan-verbal Diakses 7 September 2023.

Dampak Pada Korban Maupun Pelaku Terhadap Kekerasan Verbal

Dampak yang terjadi pada korban terhadap kekerasan verbal adalah terganggu psikisnya atau bisa kita kenal dengan kesehatan mentalnya. Dengan menghadap berbagai macam bentuk kekerasan verbal yang diberi oleh sang pelaku, dapat menimbulkan takut, trauma, dan rasa tidak percaya pada diri sendiri. Sehingga dia akan merasa dirinya lemah, tidak cukup, dan tidak mampu untuk menjalani kehidupannya seperti biasa.

Baca Juga:

Kemudian dampak pada korban lagi adalah kemungkinan sang korban kekerasan verbal menjadi pelaku kekerasan sangat besar. Seperti yang sudah saya jelaskan diatas bahwasanya dengan seringnya mendengar kata yang menjatuhkan , menjelekkan, mengolok diri sang korban, maka sang korban kekerasan verbal akan mencari tumbal yang tepat seperti lebih lemah dibandingkan oleh diri mereka. Sehingga rasa kurang percaya diri akan hilang dan pasti akan menimbulkan rasa dominan karena mereka berpikir dengan cara itu mereka dapat melampiaskannya atau membuat mereka merasa tenang.

Dan kemungkinan dampak yang terjadi oleh sang pelaku adalah rusaknya moral atau sudah mengalami krisis moral karena telah melakukan kekerasan vebal. Ketika sang pelaku kekerasan verbal melakukan kekerasan verbal dengan sengaja itu sudah bisa kita anggap hilangnya moral. Dengan begitu sang pelaku akan kehilangan rasa simpati atau respect dari masyarakat.

Selanjutnya, “Tidak sedikit anak-anak korban kekerasan verbal yang tidak percaya diri (untuk tidak menyebut gagal) untuk mengambil kesempatan yang datang dalam hidupnya. Mereka menganggap dirinya tidak berharga dan merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan tersebut. https://m.kumparan.com/amp/wahyutanoto104/inilah-dampak-kekerasan-verbal-pada-anak-yang-perlu-diketahui-1yUeRUTiMe0 Diakes 7 September 2023.

Simpulan

Simpulan yang bisa diambil dari artikel ini adalah kekerasan verbal tidak bisa dianggap sepele karena kekerasan ini bisa memberi dampak negatif untuk korban maupun pelaku dalam kurun waktu sekarang maupun di masa depan nanti. Oleh karena itu, kita harus mempunyai inisiatif bersama bagaimana cara agar angka kekerasan verbal di negara kita dapat menurun atau berkurang. Mencari bersama tentang cara untuk mengatasi kekerasan verbal yang terjadi disekitar kita, dan saling merangkul satu sama lain untuk saling menjaga bukan saling menyakiti baik itu kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.

 

 

Penulis adalah  Siswi Kelas XII IPA 8 SMAN 1  Kota Lhokseumawe 

 


Berita Terkait

Posting Komentar

2 Komentar