Renungan Sore di Kota Juang

 

Oleh:Mukhlis, S.Pd , M.Pd

"Cobalah menulis secara sederhana!" Sesederhana pikiranmu dalam meramu pengetahuan logika dan emosional. Dalam konteks semantik bahasa sederhana sangat mudah dipahami secara sistematis.  Di negeri berkembang seperti ini, logika  berpikir sederhana  masih bertaburan dalam berbagai disiplin ilmu.  

Kenapa hal itu masih ngetren di bumi yang  majunya bak siput berjalan.  Tak lain dan tak bukan, karena Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia  berada pada taraf terendah dibandingkan bangsa-  bangsa lain di dunia.  

Daya baca negeri gemahrifah lhoh jenawi  berada pada posisi buncit.  Ini jika mau merunut pada berbagai hasil survei lembaga- lembaga yang terakreditasi dunia. 
Tak perlu melawan hasil penelitian orang tentang kemajuan SDM kita,  namun mari merunduk dan melihat fenomena budaya bangsa kita yang lebih bersifat konsumtif terhadap barang - barang berteknologi tinggi produk negara maju. Tentunya barang- barang berteknologi tinggi yang dihasilkan negara maju bukannya turun seketika dari langit seperti hujan Bulan Desember. 

Penulis merasa basi untuk menghadirkan contoh tentang kemajuan negeri orang di hadapan pembaca.  Namun,  satu yang perlu dijadikan renungan bahwa semua pengetahuan yang menghasilkan teknologi  suatu bangsa didapat dari MEMBACA.  Juga tak perlu berpanjang lebar mengulas tentang budaya baca yang ada di masyarakat Indonesia. 

Suatu sore, di Kota Juang Kabupaten Bireuen.  Kota yang dikenal sebagai Ibukota Negara Indonesia tercepat di dunia.  Penulis tak sengaja melewati jalan protokol kebanggaan masyarakat di daerah itu.  Jalanan begitu padat,  tidak seperti biasa.  Mobil -mobil merayap dan meraung,  pejalan kaki mencari ruas- ruas kosong untuk memasukkan telapak kaki mengikuti tujuan masing -masing. 

Motor - motor berbaris kaku berubah menjadi show room jalanan.  Penulis membatin" Ada apa ya?,  Ramai sangat?",  Rupanya setelah penulis merayap lebih dekat, ternyata rombongan ibu - ibu sedang menyerbu bakal kain obral dalam antrean panjang. 

Sepintas penulis berpikir,  "Seandainya pemandangan seperti ini terjadi di depan perpustakaan kecamatan dan kabupaten /kota,  luar biasa kemajuan SDM yang terjadi di negeri ini. "

Ada sih satu lagi renungan berpikir sebagai penutup tulisan ini.   Seorang tokoh di sekitaran penulis tinggal.  Suatu hari, penulis memberitahukan bahwa ada satu judul buku yang mampu membuat kita keluar dari kesulitan menulis,  seperti yang dia alami selama ini.  Bukunya ditulis dengan bahasa yang sederhana,  siapa saja bisa menguliknya tanpa harus menempatkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di samping sebagai kompas diksi.  

Ketika mendengar berita tersebut langsung ia berucap" Anda sudah menguliknya? ",  Dalam nada geram penulis menjawab,  Sudah! "Sudah seluruh isi buku itu saya layari pak!," Oh,  Kalau begitu kapan ada waktu senggang Saya ingin ke rumah untuk mendengar semua isi buku tersebut? "  Sambil menggerutu ia berucap saya terlalu sibuk Pak!,  "Jadi gak sempat baca".  Saya lebih senang mendengarkan apa yang sudah dibaca orang "

Bagi penulis,  kalau disuruh menceritakan kembali apa yang sudah dibaca adalah sebuah hobi.  Karena menurut pakar,  apa yang telah  dibaca kemudian diceritakan kembali pada orang lain akan mempunyai daya rekat di otak sebanyak 50 % dari pada didiamkan.  Namun yang menjadi  fokus pada pengalaman di atas adalah kemauan dan keinginan untuk membaca pada diri masyarakat Indonesia hari ini.  

Baca Juga:


Nah...! Mari kembali pada pokok soal yang sudah ditabulasi dalam deretan gagasan sebelumnya.  Bagaimana bisa seorang pembaca memahami isi teks  penuh dengan lukisan istilah dan atribut kebahasaan yang begitu rumit dan kompleks,  sementara daya bacanya masih berada di bawah rata- rata? 
 
Secara umum masyarakat Indonesia lebih suka mendengarkan cakap- cakap orang, baik yang berhubungan dengan ilmu maupun humor.  Tidak disangkal juga kebutuhan akan informasi yang didengar lebih kepada hal- hal kemustahilan seperti dalam karya sastra melayu klasik.  Mereka lebih senang mendengarkan dongeng atau berita yang terjadi di luar logika ( pralogis)

 
Menilik kisah dan pengalaman di atas,  tidak aneh  rasanya ,jika penulis menawarkan gagasan di awal tulisan ini" Menulislah dalam bahasa sederhana,  sebagaimana sederhananya kemampuan membaca Anda" Semoga  ini jadi renungan bersama para penulis yang ada di ruang publik.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi, Esais, dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar