Karya: Marzuki Umar
Kini ...,
banyak insan
bersijundai
raganya menerawang
di atas licinnya
peradaban
ribaan tak menjadi
penghalang
jiwanya kian jumud
ditutupi manisnya janjian
Undang-undang berlaku
tak santun
bagi kampiun dan
sang johan
patokan bagaikan
sayap capung
walau sikapnya
merundung
Julukan pengayom
sebatas pemeran
‘tuk menoreh kepercayaan
pencoleng negeri kian
menjulang
di atas deritanya
sang paku alam
Sungguh sayang ...,
terali besi tak lagi
jadi pendidikan
banyak solusi mafia
gentayangan
jeruji besi kian jadi
kamar dagang
Di musim panas
pendekar
berayun-ayun
mengipasi debunya
paviliun
di musim dingin
dirinya
meraup untung
di atas kawah dan lembah
yang tertimbun
Coret-moret tembok
pertanda duka
tak kan menjadi racun
orasi jalanan
dianggap petualang pikun
narasi tayangan
sumber penyakit bagi
penutur
mungkinkah negeri ini
menjadi makmur?
Bangunan jalan
sekilas
amat beruntung
penyeberangan tiap detik
tak terkatung-katung
pengguna jasa malah
berduyun-duyun
menoleh sarana
rata tertimbun
Tapi ...,
nestapa pemulung tak
terbendung
rumahnya bertirai
pelupuh
kian jadi pelumpung
cita mendongkrak
awan selalu mendung
pada siapa
harus mengadu untung?
Ya Rab ...,
bilakah negeri ini
jadi lentera
bilakah negeri ini
jadi sempena?
Ya Rahman ...,
bilakah negeri ini
bebas petaka
bilakah negeri ini
terbendung dari riba?
Ya Ilahi ...,
salahkah kami ini
berharap sentosa
salahkah kami ini
berharap bahagia ...?
Bireuen,
29 September 2023
0 Komentar