Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
Pembangunan manusia sangat ditentukan oleh profesi guru. Di Indonesia profesi ini dimaknai secara universal. Artinya, siapa saja yang pernah mengajar dan dimana saja kepada orang lain disebut guru. Mereka tidak memperdulikan dari disiplin ilmu apa dia geluti. Intinya setiap ilmu yang ditransfer, walaupun tidak bersistem mereka langsung menganggap bahwa itu adalah guru.
Sayyidina Ali sahabat Rasulullah Saw. mengatakan" Seandainya ada yang mau mengajarkan Aku satu huruf saja, Aku rela jadi budaknya." Dalam peradaban pendidikan yang penuh dengan perubahan informasi, guru masih dianggap sebagai sosok yang mendominasi.
Kita tinggalkan pengantar di atas, pelan tapi pasti sambil mengalih alur pikir ke tema sesungguhnya. Undang-undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 menyatakan bahwa, "Guru adalah individu, baik PNS maupun non-PNS yang diberikan tugas mengajar pada berbagai jenjang pendidikan". Guru yang dimaksud dalam konteks ini adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi Pendidikan S1 dan S2,memiliki sertifikat Akta IV sebagai bukti yang bersangkutan mempunyai empat kompetensi meliputi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.
Masalah yang menguras pikiran pakar pendidikan adalah nasib guru mulai digerus arus perubahan karakter siswa. Belum hilang satu kasus penganiayaan terhadap guru muncul kasus lainnya.
Dunia pendidikan tertoreh duka, wajah guru Indonesia merunduk, mereka meradang dalam duka. Pengabdi tanpa gaji harus diganjar nasib tak berpihak. Pemerhati hak asasi manusia bungkam matanya dimanjakan oleh hak siswa yang dinomorsatukan. Hukum tak mampu merajam siswa dalam kasus tersebut, karena Ia belum dapat menerima ganjaran fisik.
Menghadapi generasi Z guru dituntut profesional, memahami pedagogik, mempunyai kepribadian sebagai teladan, dan mempunyai jiwa sosial sebagai makhluk sosial. Selain itu, generasi milenial yang bertumpu pada revolusi 4.0. Karakter generasi ini sangat kompleks dan multi perubahan. Dalam berbagai fenomena,mereka ditempah dari berbagai sisi.
Otak generasi ini diproses oleh informasi yang didapatkan secara instan. Semua yang dianggap sukar bagi mereka menjadi mudah. Informasi berkembang pesat semua dilahap tanpa jeda. Handphone telah menculiknya dalam berbagai versi. Wajar kalau karakternya berubah dalam berbagai dimensi. Bagi mereka guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu, tapi mereka menganggap guru hanya salah satu sumber belajar.
Hal ini sesuai dengan Mulayasa, (2007) guru adalah salah satu sumber belajar.Perubahan karakter begitu deras pada Generasi Emas Tahun 2035, ketika Indonesia mencapai kejayaan selama 100 Tahun. Kembali ke masalah awal yang ditabulasi pada judul tulisan ini. Mengajar pada generasi milenial yang terpolarisasi arus globalisasi, guru dituntut harus tampil excellent di tengah suasana kelas berbasis teknologi.
Mendidik, melatih, dan mengajar pada generasi yang mengalami perubahan karakter, guru harus benar-benar guru. Mengingat selama ini banyak siswa dan orang tua melakukan pelecehan terhadap guru. Di sisi lain, guru seperti tidak berada dalam satu paguyuban yang solid.
Undang-undang perlindungan guru nampaknya tidak dapat dijadikan sebagai tempat berlindung, ketika masalah melilit para pengajar. Media sosial dan mainstream tiap saat menyiarkan perlakuan siswa terhadap guru. Pengambil kebijakan sepertinya tidak ambil pusing terhadap kasus yang mendera guru hari ini.
Kadang kasus itu dianggap biasa, ketika viral di media masa dunia tercengang. Satu dua organisasi paguyuban mulai bersuara membela para guru. Fenomenal dunia pendidikan hari ini adalah pemerintah tidak pernah melakukan pencegahan, akan tetapi penyebab yang jadi fokus masalah, sehingga hal ini menjadi liar dan susah diselesaikan.
Hampir semua insiden yang terjadi pada guru bermula dari masalah sederhana dan sepele. Seandainya boleh meminta, maka guru pasti akan meminta" Borgol saja tangan ini, ketika berada dalam kelas!" Sebegitu takutnya guru, jika berbicara tentang tindakan yang diberikan guru pada siswa.
Dunia pendidikan seperti dicurigai oleh berbagai lembaga. Mereka bersemanyam dalam kehidupan orang tua siswa yang sigap jika menemukan kesalahan guru. Mereka tidak segan-segan menghukum guru sebagai balasan dendam terhadap perlakuan yang diberikan guru kepada siswa. Sementara itu, posisi guru tidak ada kepastian hukum. Aturan tetap saja tertulis pada lembaran bertabur pasal, sosialisasi digaungkan ke seantero jagad pendidikan. Guru tetap jadi tumbal kegagalan pembangunan. Demi
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar