Setelah Ayah Menikah Lagi

Setelah Ayah Menikah Lagi

 

 

 Sumber: Dreamina.capcut.com

 

Oleh: Fahrur  Reza 

Dua hal yang  Aku benci dalam hidup ini adalah,senja dan dermaga.Kelak suatu hari akan kuceritakan mengapa  Aku  membeci keduanya. Namun,sebelum itu,izinkan  Aku  cerita kepadamu tentang perempuan.Perempuan tegar,kuat dan mandiri.Perempuan paling hebat didunia.Perempuan istimewa yang di anugerahi surga di bawah telapak kakinya.Perempuan yang sepakat kita panggil  Ibu.

Jauh sebelum bencana itu tiba, Ibu-lebih tepatnya  Ibuku,adalah perempuan yang paling ceria di kampung ini.Semua mengenalinya perempuan paling ramah dan pekerja keras.Jika kamu jalan-jalan ke kampungku,cobalah tanyakan nama  Ibuku pada penduduk setempat.Pastijawaban mereka,"Oh,bu Ros! yang berjualan makanan kaki lima didepan salon itu,kan? Yang ramah,yang paling murah senyum?",Begitu  pernyataan orang-orang tentang Ibuku

Ya,  Ibuku penjual makanan kaki lima.lebih tepatnya berjualan pecal,tetapi orang di kampungku menyebutnya dengan sebutan "peucai", kampung ku terletak dekat dengan laut jadi banyak juga masyarakat di sini yang  pergi melaut karena letaknya yang strategis. Aku  berjanji jika Kamu berkunjung ke kampungku, Aku  akan mengajakmu keliling kampung  dan melihat betapa indahnya laut di daerahku.

Pagi-pagi buta  Aku  selalu menemani  Ibu ke pasar untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan untuk berjualan pecal,  Ibu membeli sayuran ke tempat langganannya dan mendapatkan daun-daunan dengan harga yang lumayan murah dibandingkan di tempat-tempat lainnya.

Baca Juga: Kenangan yang Tak Terlupakan

Setelah selesai beli belanjaan yang dibutuhkan,  Kami  berduapun pulang. Setelah tiba di rumah, Ibu langsung memotong  satu persatu sayuran tersebut, lalu  Ibu mencuci sayurannya, dan merebus mie lidi untuk dibuat sebagai mie bumbu kacang, sekalian merebus mie  Ibu pun memasak air untuk merebus sayuran-sayurannya, setelah airnya mendidih  Ibuku pun langsung merebus sayuran tersebut. Setelah  selasai semua perlengkapan jualan  Ibu pun langsung merapikan tempat jualannya sebelum para pelanggannya datang. Ibu akan berjualan di depan salon temannya, tentunya dengan harga yang merakyat.

Pecal  Ibuku sudah sangat terkenal juara. Begitulah kata orang-orang,karena itu adalah jualan penerus dari nenekku yang sudah berjualan dari tahun 1978, banyak orang yang sudah merantau ke kota lain pasti asal kalau pulang kampung pasti akan beli pecal  Ibu ku, orang -orang kota yang menjadi langganan  Ibuku, karena  Ibuku ada menjual juga bumbu kacangnya saja yang tinggal di taruh air panas untuk melarutkannya. Jadi banyak yang sebelum kembali merantau untuk membeli bumbu kacangnya milik  Ibuku.

Ibu tetap cantik meski tiap hari kulitnya terbakar dengan paparan sinar matahari. Ibu tetap cantik meski sudah memiliki tiga orang anak. Yang Aku  sukai dari  Ibu adalah matanya. Mata  Ibu seolah penuh sihir, jernih teduh dan menenangkan, sempurna dan dari  Kami  bertiga kata orang  Aku  lah yang mewarisi mata indah  Ibu dan  Aku  sangat bangga.

Aku  si bungsu,yang selalu mengikuti  Ibu  kemana pun Ia pergi. Ibu yang ceria, punya banyak sekali cerita, paling jago membuatku berhenti menangis dan paling juara rasa masakannya. Jika  Aku  bertengkar dengan kakak-abangku. Ibu selalu menjadi penengah yang baik. Tak ada yang dibela, Ibu selalu berl Aku  adil kepada  Kami  semua.

" Ibu,jika  Aku  dewasa nanti, Aku  ingin seperti  Ibu"

"Memangnya Kamu melihat  Ibu seperti apa?"  Ibu bertanya tanpa menoleh karena sedang sibuk melipat pakaian yang sudah dicuci oleh kakak-ku.

" Ibu itu cantik,baik dan rajin berkerja"

" Ibu itu rajin karena hidup kita pas-pasan, nak"

"Tapi  Aku  tetap ingin seperti  Ibu,titik!"

"Baiklah,ingat pesan  Ibu,sesulit apapun keadaan,hidup tetap harus berlanjut.Kau harus tetap berkilau." Ia tersenyum menatapku.

" Aku  akan selalu berkilau dan  Ibu akan selalu bersinar."  Kami  tertawa bersama menyambut senja yang baru saja tiba.

 Baca Juga: Terdakwa Jalanan

Dua hal yang  Aku  benci dalam hidup ini adalah,senja dan dermaga.Kelak suatu hari akan kuceritakan mengapa  Aku  membeci keduanya.Namun,sebelum itu, izinkan  Aku  cerita kepadamu tentang perempuan. Perempuan tegar,kuat dan mandiri. Perempuan paling hebat di dunia. Perempuan istimewa yang dianugerahi surga di bawah telapak kakinya. Perempuan yang sepakat kita panggil  Ibu.

Beberapa malam terakhir ini, Aku  sering mendengar  Ibu menarik ingusnya seperti ada Isak yang tertahan, mungkin karena takut  Aku  terbangun. Aku  tahu  Ibu sedang menangis, bahunya sesekali berguncang, Ibu membelakangi  Aku ,mungkin saja  Ibu membekap mulutnya dengan bantal agar tak mengeluarkan suara.

Setelah memastikan  Aku  tertidur, Ibu akan berbalik dan membelakangi  Aku . Aku memutuskan tidak tidur lagi menemaninya menangi. Meski   Ibu tidak tahu bahwa  Aku  selalu menjadi saksi air matanya. Ingin sekali kuusap punggungnya dan berkata "Tenanglah, berhentilah menangis, apa pun yang terjadi  semua akan baik-baik saja, Bu."

Ibu berubah, benar-benar berubah semakin pendiam dan lebih banyak menyendiri. Ia jarang sekali memelukku. Ia lebih banyakmenghabiskan waktu dengan merenung, tak lagi seceria dulu. Ibu tidak pernah lagi menceritakan dongeng sebelum tidur kepada  Kami

Masakannya tak lagi seenak dulu, pun tak pandai lagi meredakan tangisku. Pernah  Aku berpura-pura merengek, tapi  Ibu bergeming. Tatapannya kosong menatap ke arah pintu. Pernah juga  Aku  bertengkar dengan Kakak, karena berebut gelas minum dan gelasnya pecah.  Kami  diam mematung, mengira  Ibu akan memarahi  Kami. Namun, ternyata  Ibu hanya menunduk mengumpulkan pecahan beling tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya.

Ibu tak pernah lagi mengajakku pergi bersamanya. Menjelang sore,  Ibu akan pergi entah kemana dan melarangku mengikutinya. Para tetangga pun merasa heran dengan sikap  Ibu yang berubah seketika.  Ibu tidak sakit, ia tetap bekerja seperti biasa, hanya sikapnyalah yang berubah.

Ibu memang pandai menyembunyikan kesedihannya, tapi  Aku  bisa merasakan itu.  Aku  bisa melihat itu di mata  Ibu, matanya menyimpan sebuah rahasia yang tak boleh  Kami  ketahui

Dari kabar yang tak sengaja kudengar, Ayah telah menikah lagi di kota. Tentu saja tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan  Ibu  Ayah memilih wanita yang mungkin lebih menarik dari  Ibu, yang telah melahirkan tiga orang anak dari rahimnya. Ah,  Ibu! Bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal sebesar ini dari  Kami ? 

Ayah telah bahagia dengan keluarga barunya sampai lupa arah pulang. Ayah terlalu bahagia sampai lupa bahwa  Ibu setiap hari menatap ke arah pintu,dengan penuh harapan dia akan datang. Ayah mungkin melalui hari-hari yang bahagia dengan istri barunya, tapi  Ibu? Ia selalu gelisah dalam tidurnya, berharap akan ada kabar bahagia.  Ibu melalui harihari yang sulit. Apalagi setelah kehilangan Kak Binar.  Ibu seperti kehilangan separuh hatinya.

Aku  ingat betul malam itu, Kak Binar demam tinggi dan kejang-kejang. Di luar hujan sangat deras, yang bisa  Kami  l Aku kan hanya mengompres dahi Kakak dengan air hangat.  Ibu panik dan tak henti-hentinya menangis. Andai Ayah ada bersama  Kami, mungkin Ayah bisa menerobos hujan dan membawa Kakak berobat, agar Kakak tidak akan pergi untuk selamanya.

Secara fisik,  Ibu tampak baik-baik saja, tapi  Aku  tahu di dalam hatinya hancur. Ia berusaha tetap tegar demi ketiga putrinya. Tak ada yang tahu persis kesedihan di hati  Ibu. Ia memendamnya sendiri, dan kesedihan itu membunuhnya perlahan.

Dua hal yang  Aku  benci dalam hidup ini, senja dan dermaga. Mungkin inilah saatnya,  Aku menceritakan kepadamu kenapa  Aku  membenci keduanya. Senja dan dermaga telah mencuri  Ibu dariku. Menjelang senja,  Ibu akan pergi dari rumah. Setiap hari. Pulang saat malam telah benar-benar pekat.

 Suatu hari,  Aku  pernah mengikuti  Ibu diam-diam. Benar saja,  Ibu pergi ke dermaga kayu, duduk sambil mencelupkan kakinya ke dalam air laut. Ia memandang matahari yang perlahan tenggelam. Andai saja bisa, ingin kuhapus senja dan kurobohkan dermaga ini. Agar  Ibu tak lagi pergi ke tempat terkutuk ini.  Meratapi Ayah yang telah mengkhianatinya.

Semenjak mengetahui ke mana  Ibu pergi, setiap hari  Aku  mengikutinya diam-diam.  Aku  sudah bertekad selalu menemani  Ibu dalam setiap tangisnya, dalam setiap kesendiriannya.  Aku  harus siaga di belakang  Ibu.  Aku  takut  Ibu akan melukai dirinya.  Aku  takut  Ibu akan menenggelamkan dirinya di dermaga, tenggelam bersama senja.

 Langit tak sepenuhnya jingga.  Ibu membuang tatapan hampa.  Aku  menatapnya iba, tapi tak mampu menangis. Entah kenapa, semenjak melihat  Ibu setiap hari menangis, air mata Aku  tak bisa keluar. Bahkan saat Kak Binar pergi untuk selamanya, hanya  Aku  saja yang tidak menangis. Mungkinkah  Aku memang diciptakan tanpa memiliki air mata?  Aku  sudah tidak tahan lagi melihat  Ibu seperti ini,  Aku harus bicara. Harus!  Aku  mencoba memberanikan diri mendekati  Ibu.

“ Ibu, sedang apa di sini?”  Aku  duduk perlahan di sampingnya, ikut mencelupkan kaki ke dalam air. Ibu menoleh sekilas, tersenyum tipis. Senyum yang sangat  Aku  rindukan.  Ibu kemudian membuang pandangannya jauh, sangat jauh. 

“ Ibu,  Aku  ingat dulu saat  Aku  kecil, belum lancar berjalan, hanya bisa merangkak saja,  Ibu sering bercerita pad Aku  tentang banyak hal selain dongeng pengantar tidur. Meski  Ibu menganggap  Aku tidak mengerti, tapi saat itu  Aku  merekam setiap perkataan  Ibu.” Ia sedikit terkejut, menoleh pad Aku  kemudian melempar kembali pandangannya.

 “Ada satu nasihat yang sampai saat ini  Aku  ingat. Dulu,  Ibu sering mengucapkannya sambil mengusap kepal Aku . Nak, jika kelak kau sudah besar nanti, jika kelak kau telah mencintai seseorang, cintailah ia karena agamanya, karena ketaatannya, karena kecintaannya kepada Sang Pencipta, karena wanita yang taat tidak akan tega menyakiti hatimu. Dulu,  Ibu juga sering bilang kalimat itu berulangulang ke bang Cahya, saat tahu ada wanita yang mengirim surat kepadanya. He-he-he.”  Aku  sengaja tertawa untuk mencairkan suasana.

Kali ini  Aku  melihat  Ibu menunduk, memandangi kaki  Kami  yang sempurna terendam air, satu titik air mata jatuh perlahan. Ia masih tetap diam satu titik air mata jatuh perlahan.

Ia masih tetap diam.“ Ibu,  Kami  sudah tahu kalau Ayah telah menikah lagi, meski  Ibu tak berani mengatakannya.  Aku  dan bang Cahya,menangis di kamar ketika mendengar kabar itu.  Kami  berdua telah berjanji, meski Ayah tak bersama  Kami  lagi,  Kami  wajib menjaga  Ibu.  Kami  wajib membahagiakan  Ibu.  Kami  wajib mempertahankan senyuman  Ibu.” Ia mengusap pipinya yang telah basah.

“Ibu, ada hal di dunia ini, yang memang ditakdirkan untuk tidak kita miliki. Ada juga yang ditakdirkan untuk kita miliki sementara, semata untuk memberikan pelajaran berharga. Semua sudah menjadi ketetapan-Nya. Besar kecilnya masalah yang menimpa kita, Tuhan pasti punya rencana terbaik dibalik itu. Bukankah kata  Ibu, Tuhan Mahabaik?”  

 Ia menoleh, menatap mat Aku  dalam, perlahan mengusap pipiku.  Aku  memejamkan mata, meresapi sentuhan tangannya yang benar-benar  Aku  rindukan.

 “Nak, apakah  Ibu terlalu lama meninggalkan kalian? Hingga  Ibu tidak sadar kau telah tumbuh sedewasa ini, pemikiranmu tumbuh sebijak ini?” Ia kembali menunduk.

  “ Ibu, menangislah di depanku. Tak mengapa, sesakit apa pun penderitaan yang  Ibu rasakan, bagilah denganku. Ceritakanlah pad Aku .” Ia menatapku nanar, air mata itu semakin deras tak terbendung.

“Menangislah  Ibu, menangislah dengan suara pilu sekalipun, keluarkanlah segala sesak di hati  Ibu. Aku berjanji akan menjadi tempat terbaik untuk menampung sebanyak apa pun air matamu, Bu.” Kemudian tangisnya pecah, Ia menangis sejad-ijadinya.  Aku  memeluknya sangat erat. Menikmati irama tangisnya yang terdengar pilu. Sampai malam bertamu, bulan bundar sempurna bergantung di langit,  Ibu belum juga menyelesaikan tangisnya. 

Ibu yang selalu berpura-pura kuat di depan  Kami, menyimpan segala kepedihannya sendiri, akhirnya memuntahkan segala sesak di dadanya. Hari ini  Aku  bangga pada diriku,  Aku  telah berhasil membuat Ibu menangis di depanku.  Aku  telah berhasil meyakinkan  Ibu bahwa perempuan tak sepenuhnya mesti tegar. Ada saat perempuan bisa menumpahkan segala kekecewaannya lewat air mata. Perempuan menangis bukan karena ia lemah, tapi menandakan betapa tegarnya dia.

Perlahan isaknya semakin mereda, kecil kemudian tak terdengar. Di bawah rembulan yang sempurna,Ia memegang tanganku erat.

“Nak, berjanjilah untuk tetap kuat, tak peduli sesulit apa pun kehidupan, tetaplah menjadi kuat. Kau tetap harus berkilau seperti rembulan malam."

"Dan  Ibu harus tetap bersinar seperti bintang di malam hari”  Aku  membalasnya.

 

Penulis adalah Siswa kelas XI -1 Unggul SMA Negeri 1 lhokseumawe  

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar