Arti dari Namanya

Arti dari Namanya

 

SSumber: Dreamina.capcut.com     

Oleh:Savita Okta Viola

Pagi ini aku berjalan menyusuri rimbunnya pohon jati, di temani rintik-rintik hujan yang membuat badan tampak menggigil walau sudah memakai jaket setebal bulu domba.

Hari ini aku sudah bertekad untuk menemuinya. Ya, menemui gadis cupu yang dulu mengisi kisah bangku SD ku. Enam tahun mungkin berlalu begitu cepat bak ombak yang menerjang pesisir pantai. Tapi bagiku, walau waktu telah berlalu bertahun-tahun lamanya pun, kisahnya tidak dapat hilang dari ingatanku. 

Setelah lima belas menit berjalan, aku berhenti di sebuah sekolah tua. Mungkin bagi para orang kaya yang hidup ditengah kota, bangunan sekolah itu sudah tidak berharga, dijual pun boro-boro tidak akan ada yang beli.


Pandangan pertamaku langsung tertuju ke segerombolan anak yang berlarian di halaman sekolah itu sambil menenteng buku lusuh di tangan mereka. Aku menghela nafas ringan, "sudah kuduga, ditegur berkali-kali pun tetap tidak terdengar."

"Kak Ratih, ayo sini main sama kami." Salah satu dari gerombolan anak kecil itu manyadari kehadiranku dan langsung berlari kearahku diikuti semua temannya yang terlambat menyadarinya. "Kalian ini gimana sih, kan sudah kubilang jangan berlarian sambil membawa buku. Nanti kalau bukunya jatuh dan kotor gimana?" Lucu memang masih dipanggil kakak diusiaku yang sudah berkepala dua. Jangan-jangan karena tinggi badanku yang tidak bertambah-tambah ini. 

"Ah, maaf kak. Soalnya aku sayang banget sama buku ini, berkat buku ini aku sadar kalau dunia itu luuuuaaaassss banget." Ucap salah satu anak laki-laki bernama Rendi. Yah, dia memang anak paling kolot diantara semua anak disini. Tapi disisi lain, dia adalah anak paling jujur yang pernah kutemui. Sangking jujurnya aku sampai tidak bisa berkata-kata saat dia mengatakan suatu hal secara blak-blakan.

Mendengar jawaban jujur dari anak polos ini, aku tetap tersenyum sambil membatin "bagaimana mungkin aku memarahi anak yang menyukai ilmu." Yah, aku berjanji pada diriku sendiri kalau tuhan memberiku rezeki lebih akan kubelikan buku-buku yang banyak. 

Aku mengelus kepala mereka semua, "gini, hari ini kakak mau bertemu kak claudia, apa kalian mau mengantar kakak?" Tanyaku ragu, sebab biasanya ini memang jam bermain mereka sebelum akhirnya jam pelajaran mereka dimulai.

Kupikir mereka akan menolak tapi ternyata malah sebaliknya, mereka langsung bersemangat sambil menggandeng kedua tanganku, "ayo kak, kami juga ingin menemuinya, kalau kakak tadi tidak mengajak kami tidak bisa menemuinya sendiri."
 
Mereka mungkin hanya 6 anak terbelakang yang bersekolah di sekolah usang dengan alat seadanya, tapi dihatiku mereka semua adalah wujud dari mimpi seseorang. Mereka adalah calon-calon orang hebat dimasa depan 

Walau hanya 6 anak yang masih belum pandai berhitung, semangat mereka tidak pernah padam walau hanya karena ketidak pahaman itu sendiri. Malah, dengan ketidak pahaman itu mereka menjadi giat dan sungguh-sungguh.

Seraya mengikuti mereka berjalan menuju taman belakang sekolah, aku mendongak menatap langit pagi yang lama-lama memberi kehangatan. "Andai dulu aku lebih memahamimu, mungkin kini keadaannya sedikit lebih baik." 

Sesampainya di halaman belakang sekolah, mataku langsung bergetar. Benar, sudah 6 tahun berlalu, tapi lihatlah Dia, senyuman itu tidak pernah berubah, melihatnya berada di tengah-tengah bunga aster yang sengaja ditanam anak-anak disini membuat penampilannya tampak cantik. Gadis itu tetaplah gadis yang dulu pernah menjadi teman, guru, motivator, dan bahkan alasan mengapa aku kini bekerja sebagai pelukis. 

Tanpa sadar air mataku langsung mengalir deras, kerinduan ini akhirnya terbayar. Anak-anak yang berada di sampingku hanya bisa terdiam sambil sedikit menyeka air mata yang juga keluar di mata mereka. Mereka ikut menangis karena ini adalah sebuah renungan yang indah. Pertemuan ini sangatlah indah. Janji-janji dimasa lalu lama-kelamaan terbayar berkat usaha yang selama ini aku curahkan.

Aku berjalan mendekatinya dan mendekapnya. "Kartini itu bukan hanya nama, kini aku paham ucapanmu." Ucapan yang dulu selalu kau ucapkan saat kami mengerjakan tugas sekolah, ucapan yang selalu membuatku sebal sebab harus mendengarnya setiap hari, ucapan yang membuatku sadar betapa bodohnya aku selama ini.....

Suara burung berkicauan menemani langkahku menuju sekolah. Jarak rumahku dan sekolah tidak bisa dibilang dekat maupun jauh. Aku berangkat dengan jalan kaki karena uang yang kupunya hanya cukup untuk membeli roti di kantin sekolah. Maklum, namanya juga anak beasiswa. Cuma punya akal tali punya uang. Sesampainya di kelas, gadis itu langsung melambaikan tangan sambil berkata "selamat pagi, Ratih." 

Nama gadis itu adalah Claudia. Dia juga anak beasiswa sama sepertiku. Tidak, kami cuma memiliki kesamaan di bagian "anak beasiswa." Ada satu perbedaan jelas yang membuatku dan Claudia mendapat perlakuan berbeda di kelas. 

Disamping dia adalah anak beasiswa, dia juga anak berkebutuhan khusus. Dia tuna rungu. 

Entahlah, awalnya aku tidak paham kenapa sekolah ini mau menerimagadis itu alih-alih mereko mendasikannya ke SLB. Tapi setelah dua minggu berada di bangku yang sama dengannya, aku paham alasannya. 

Walau dia anak berkebutuhan khusus, standard IQnya setara dengan anak normal lainnya, lebih tinggi malah. Walau dia tidak mendapat materi secara maksimal di kelas karena tidak dapat mendengar, setiap ulangan yang dia lewati disini hasilnya selalu sempurna.

"Selamat pagi juga Claudia." Jawabku ramah seraya meletakkan tas di bangku. Aku paham dia tidak dapat mendengarku, tapi dia pasti menilainya lewat wajah ramahku. Andai kata tadi aku menjawab "apaan sih lo, menyebelin banget" sambil memasang wajah ramah, dia pasti tetap senang. Naif sekali. Setelah doa dan ucapan sapaan dari guru, pelajaran seperti biasanya dimulai. Entah kenapa pelajaran hari ini tentang sejarah semua. 

Menyebalkan, bukannya aku tidak mau memahami perjuangan para pahlawan yang membuat negeri ini merdeka, hanya saja pelajaran sejarah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas sama aja. Tentang pahlawan ini itu dan perang apa saja yang mereka pimpin.

 Saat mengerjakan tugas yang diberikan guru, Aku meletakkan kepalaku di tangan dan menoleh ke arah gadis itu. Dia terlihat antusias. Berbanding terbalik dengan wajahku yangtampak lesu, wajah gadis itu berbinar-binar. Seakan-akan semangat para pahlawan mengalir ketubuhnya. Lucu sekali.

Aku menulis di secarik kertas dan memberikannya ke Claudia. "Pahlawan apa yang akan kau pilih untuk tema tugas kali ini?". Dia langsung berbisik kepadaku lirih, kartini.
"Hah, itu lagi. Tidak-tidak, dari awal aku sudah menduganya. 


Aku hanya kaget saat memastikannya. Gadis itu benar-benar terobsesi dengan seorang pahlawan wanita yang sering muncul dibuku sejarah. Padahal 3 hari yang lalu dia sudah memakai tema kartini, masak hari ini juga mengambil tema yang sama. Apa jangan-jangan karena cuma kartini saja nama pahlawan yang dia tahu?

Aku kembali menulis "Hey, apa jangan-jangan cuma satu pahlawan yang kau tahu?". Dia berbisik "maaf, kelihatannya kau merasa jengkel, ya. Tapi aku memilih pahlawan ini karena dia yang selama ini menjadi motivatorku". Belum sempat aku menulis kalimat "aku jadi tambah enggak paham", dia kembali berbisik, "nanti kalau tugas ini selesai, cobalah baca punyaku."

Aku menghela nafas pelan, biarlah. Memang kita cuma sebatas teman sebangku. Tidak lebih dan tidak kurang sebab ada banyak hal yang membuatku tidak paham akan jalan pikirnya. Setelah mengerjakan tugas hari ini, Claudia langsung menempati janjinya. "Bacalah, kau pasti akan mengerti kenapa aku sangat mengidolakannya."

Karena kartini bukan hanya sebuah nama, tapi adalah sebuah tekad seorang wanita yang menantang dunia. Banyak wanita yang ingin menjadi seseorang yang hebat, tapi sedikit dari mereka berhenti karena tekad mereka masih lemah. Kesetaraan gender. 

Dulu kartini melakukan segala cara agar semua keinginannya terdengar dunia lewat surat-surat yang akhirnya menjadi buku "Dari Gelap Terbitlah Terang", tidak berhenti di situ, dia juga membaca banyak buku untuk mengetahui kenapa negerinya bisa terjajah dan mencari jalan keluarnya. Dia sama sekali tidak memperdulikan apa yang orang sekitarnya bicarakan sebab tidak ada satupun yang bisa menghentikannya." Padahal aku belum selesai membacanya, suaraku sudah bergetar.

Tangan Calid mengusap kepalaku, "sudah, aku sudah puas mendengarnya sampai disini, jadi jangan dilanjutkan. "Kami akhirnya diam dan melanjutkan langkah menuju kelas. Tidak ada yang tau kalau setelah itu wajahku memerah bak kepiting rebus. Berkat seseorang, aku mengalami banyak hal, dan berkat seseorang, aku merasakan berbagai macam perasaan
"Kartini bukan hanya nama, tapi juga suatu rasa cinta seorang wanita terhadap negerinya."

Penulis adalah Siswa Kelas  XI -1  SMA Negeri 1 Lhokseumawe.


Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar