Sumber Gambar; Dokumen Pribadi
Oleh: Dea Ananda Islami
Pada hari Selasa di Bulan Desember yang cerah, Saya memutuskan untuk mengunjungi PLTA Kapal Apung yang terletak di Desa Punge Blangcut, Banda Aceh. Keputusan ini bukan hanya didorong oleh kebutuhan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Saya, akan tetapi karena saya ingin kembali merasakan dan menghayati lebih dalam sejarah yang ada di tempat ini.
Kapal Apung PLTA adalah salah satu situs bersejarah yang memiliki banyak makna bagi masyarakat Aceh, dan bagi Saya pribadi, tempat ini selalu menyimpan kenangan yang tak terlupakan. Bagi banyak orang, Kapal Apung PLTA adalah salah satu tujuan wisata yang sangat penting saat mengunjungi Aceh. Banyak yang mengatakan, “Tidak sah ke Aceh jika belum mengunjungi Kapal Apung ini.”
Baca Juga: Masjid Baiturrahman Banda Aceh Simbol Ketahanan dan Kebangkitan Aceh
Sebagai orang Aceh, saya sudah beberapa kali berkunjung ke sini, dan meskipun sudah beberapa kali datang, setiap kali saya datang, saya selalu merasa terkesan dan terkagum-kagum dengan sejarah dan makna tempat ini.
Kapal Apung bukan hanya sekadar destinasi wisata, tetapi lebih dari itu, Ia adalah saksi bisu dari peristiwa tsunami yang menghancurkan Aceh pada Tahun 2004. Sebuah peristiwa yang tidak hanya mengubah wajah Aceh, tetapi juga menyimpan banyak cerita tentang kekuatan alam dan keteguhan hati manusia.
Setelah menempuh perjalanan, saya sampai di lokasi Kapal Apung yang langsung disambut oleh sebuah monumen tsunami berwarna cokelat. Monumen ini menggambarkan betapa dahsyatnya gelombang tsunami yang melanda Aceh. Monumen ini menjadi simbol dari bencana yang merenggut ribuan nyawa dan menghancurkan banyak kehidupan di Aceh.
Di belakang monumen tersebut, saya melihat kapal apung yang menjadi pusat perhatian utama. Kapal apung ini dulunya adalah sebuah kapal PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) milik PLN yang digunakan untuk membantu penyediaan listrik di daerah Aceh. Sebelum tsunami, kapal ini berada di Pelabuhan Ulee Lheue, namun saat bencana besar itu terjadi, kapal ini terseret oleh gelombang tsunami yang sangat kuat hingga terdampar jauh di Desa Punge Blangcut.
Saya sering bertanya-tanya, bagaimana bisa kapal sebesar ini terbawa sejauh itu? Itu adalah pertanyaan yang juga mengganggu pikiran banyak orang yang datang ke sini. Melihat kapal apung yang terdampar begitu jauh dari lokasi asalnya, saya bisa merasakan betapa dahsyatnya kekuatan alam pada saat itu. Kapal ini menjadi simbol kekuatan tsunami yang tak terbayangkan, tetapi juga simbol daya tahan dan ketangguhan dalam menghadapi bencana.
Sumber: Dokumen Pribadi
Sekarang, kondisi kapal apung ini jauh berbeda dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali saya mengunjunginya. Dulu, area sekitar kapal apung masih dipenuhi dengan reruntuhan bangunan yang hancur akibat tsunami. Namun sekarang, sebagian besar puing-puing tersebut telah dibersihkan, dan di sekitar kapal apung sudah dipagari dengan rapi. Tentu saja, perubahan ini menunjukkan bagaimana proses pemulihan di Aceh berjalan, meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi.
Kapal Apung kini telah menjadi sebuah museum yang menyimpan banyak informasi tentang tsunami dan sejarah kapal tersebut. Museum ini didirikan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda, tentang bencana tsunami dan bagaimana kapal ini bisa terdampar begitu jauh. Untuk memasuki museum yang ada di dalam kapal, saya harus menaiki beberapa anak tangga yang cukup banyak.
Sesampainya di atas, saya mulai menjelajahi setiap sudut yang ada di dalamnya. Di dalam museum, saya melihat berbagai papan informasi yang menjelaskan secara rinci bagaimana kapal ini bisa terbawa arus tsunami, serta berbagai cuplikan video dan foto-foto yang menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut.
Baca Juga: Membaca Jejak Kepenyairan Muklis Puna dalam Antologi Puisi " Lukisan Retak"
Salah satu benda yang sangat menarik perhatian saya adalah sebuah Al-Qur'an yang ditemukan di ruang petugas kapal. Al-Qur'an tersebut sudah terendam air dalam waktu yang cukup lama, sehingga kondisinya sangat tua dan hampir tidak terbaca lagi. Namun, Al-Qur'an ini tetap dilestarikan di dalam kaca, sebagai simbol kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi bencana.
Pemandangan ini membuat saya sangat tersentuh, karena selain sebagai benda bersejarah, Al-Qur'an ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga dan menghargai apa yang ada, terutama dalam menghadapi ujian hidup yang berat.
Saya masih ingat, beberapa tahun yang lalu, saya mengunjungi Kapal Apung ini dan belum ada museum seperti yang ada sekarang. Dulu, untuk masuk ke dalam kapal, hanya ada satu tangga kecil di sisi kapal, yang membuatnya sedikit sulit diakses. Namun sekarang, sudah dibangun tangga yang lebih besar dan aman, yang memudahkan pengunjung untuk naik ke atas kapal.
Perubahan ini sangat mencolok dan menunjukkan bagaimana tempat ini telah berkembang menjadi destinasi wisata yang lebih teratur dan terawat. Tidak hanya itu, perubahan ini juga mencerminkan upaya pemerintah dan masyarakat Aceh dalam melestarikan situs-situs sejarah yang penting seperti Kapal Apung.
Setelah mengunjungi museum, saya melanjutkan perjalanan menuju bagian atas kapal. Di atas kapal, terdapat sebuah teropong berwarna putih yang bisa digunakan untuk melihat pemandangan sekitar Banda Aceh. Dengan hanya membayar seribu rupiah, saya bisa menikmati pemandangan indah kota Banda Aceh dari ketinggian.
Meskipun cuaca sedikit panas, saya tetap menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus dan pemandangan yang luar biasa. Dari atas kapal, saya bisa melihat bagaimana kota Banda Aceh telah banyak berubah pasca-tsunami. Banyak bangunan baru yang dibangun, dan kota ini kini terlihat lebih maju dan berkembang. Namun, di sisi lain, ingatan akan peristiwa tsunami yang mengerikan masih tetap hidup di hati masyarakat Aceh.
Selama Saya berada di Kapal Apung, Saya juga bertemu dengan banyak turis, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang datang untuk melihat tempat bersejarah ini. Banyak dari mereka yang tampak sangat terkesan dengan sejarah di balik kapal apung ini dan tidak sedikit yang mengabadikan momen mereka dengan berfoto di sekitar kapal.
Saya sendiri, sebagai orang Aceh, merasa sangat bangga bisa berada di tempat yang begitu penting dan penuh makna ini. Meskipun saya sudah beberapa kali datang ke sini, setiap kunjungan selalu memberikan pengalaman baru yang semakin memperdalam pemahaman saya tentang sejarah Aceh dan tsunami.
Perjalanan saya di Kapal Apung ini tidak hanya memberikan wawasan baru, tetapi juga mengingatkan saya tentang betapa besar kekuatan alam dan bagaimana peristiwa besar seperti tsunami dapat mengubah hidup kita dalam sekejap. Kunjungan ini mengajarkan saya untuk selalu bersyukur dan lebih menghargai kehidupan serta segala yang kita miliki.
Saya juga merasa bahwa Kapal Apung ini sangat cocok dijadikan sebagai tempat edukasi bagi anak-anak sekolah, agar mereka bisa belajar tentang sejarah Aceh dan bagaimana pentingnya menjaga alam kita. Bagi saya, setiap kunjungan ke Kapal Apung selalu menjadi pengalaman yang berkesan dan penuh makna.
Baca Juga: Masih Perlukah Media Pembelajaran dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa?
Kunjungan ini mengingatkan saya bahwa tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak. Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari sejarah ini, meskipun hanya sebagai saksi yang melihat dan merasakan betapa besar kekuatan Tuhan dalam menghadapi bencana. Kunjungan saya ke Kapal Apung kali ini akan selalu saya kenang dan saya harap, setiap orang yang datang ke sini dapat merasakan betapa pentingnya menghargai sejarah.
Penulis adalah Mahasiswa Sendratasik Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh
0 Komentar