Oleh: Mukhlis. S.Pd., M.Pd.
"Pendidikan Itu Menyalakan Bara Api, Bukan Mengisi Bejana"
Sudah menjadi tradisi pendidikan di negeri ini, jika terjadi pergantian menteri, maka kebijakan terhadap kehidupan pendidikan negeri juga tergantikan.
Entah pola pendidikan yang belum sistematis, entah juga ada kepentingan finansial di balik hal tersebut. Negeri ini sepertinya masih dianggap sebagai laboratorium pendidikan yang menjanjikan.
Sebuah kebiasaan yang membumi dalam kancah birokasi pendidikan Indonesia, bahwa setiap pergantian menteri selalu saja dikuti dengan kebijakan baru. Ada saja kebijakan lama yang harus ditukar dan dibongkar sesuai dengan pelaku pendidikan yang menjabat.
Hal seperti ini sudah terasa jengah di tengah kehidupan masyarakat pendidikan hari ini. Penulis hanya menyampaikan suara- suara sumbang yang beredar di tengah suasana pendidikan yang seolah selalu membuat kontroversi.
Tidak hanya itu, di
tengah kegamangan pendidikan Indonesia yang sampai hari ini belum mendapat
bentuk yang standar setara dengan negeri lain di dunia . Apa sih dosa yang
harus dipikul oleh anak cucu kita ke depan? Jika mengulas tentang peringkat pendidikan hari
ini.
Di sini penulis tidak mengutip sedikitpun nasihat atau wejangan dari pakar pendidikan dalam mengembangkan tulisan yang kritis ini. Tanggung jawab moral yang dimilik oleh penulis selaku pemain utama dalam dinamika pendidikan hari ini sedang diuji kelayakannya dalam mengemban peran ini.
Mengulas tentang Ujian Nasional (UN) yang akan dihidupkan kembali berarti mengulas tentang parameter dan paradigma yang digunakan dalam pembangunan pendidikan.
Pertanyaannya apakah Ujian Nasional (UN) sudah tepat dijadikan sebagai indikator pendidikan ? Secara serampangan pertanyaan ini dapat dijawab oleh siapa saja yang menggunakan logika berpikir. Orang beranggapan bahwa masa sih tiga tahun belajar dites cuma tiga hari dengan beberapa mata pelajaran? Biarkan pertanyaan itu berlangsung dan berkembang sebagai penyeimbang dalam berpikir.
Dilihat dari kajian Program Internasional Student Asesesment ( PISA) sudah ada dalam sistem ujian nasional. Akan tetapi, yang ditagih pada UN adalah lebih kepada penguasaan konseptual bukan pada aplikatif yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional.
Ketika penguasaan konsep menjadi tagihan waktu Ujian Nasional, maka munculah proyek Bimbel berbasis cara cepat dan tepat menjawab soal kembali berjaya untuk tahun -tahun mendatang ( Maaf itu hanya prediksi penulis belaka).
Namun mengacu pada Program Internasional Asesmant Student ( Pisa) Tahun 2022 menyebutkan bahwa ada tiga indikator yang dijadikan ukuran terhadap kemajuan suatu bangsa yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, dan literasi.
Berarti jika merujuk pada sistem pelaksanaan UN yang akan hadir kembali sebagai “Barang Baru Stok Lama” dari dunia pendidikan sudah terintergrasi dengan tepat, ketika UN dilaksankan dengan sistem komputerisasi.
Baca Juga: Sebenarnya Guru adalah Sumber Utama dalam Pencegahan Bullying ?
Dalam konteks itu hafalan jadi tujuan, aplikatif semakin jauh dari ruang- ruang belajar. Pertanyaannya muntah kembali apa yang didapat oleh generasi muda ke depan sebagai bekal hidup, jika polanya masih seperti itu.
Bukankah tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan bernilai karakter? Masalah bertambah runyam, seminar di mana- mana pelatihan secara daring dan komunitas belajar ( Kombel) tak putus- putus bagai gelombang di musim pasang.
Perubahan tak juga mendekat yang ada peringkat lari menjauh bertengger di nomor buncit. Kasihan...! Guru penggerak yang selama diangggap mampu menggerakkan pendidikan ternyata berbanding terbalik, mereka tidak berdaya di lapangan dan realita. Sementara untuk pembuatan konten mereka tampil mewah di atas rata-rata.
Dari beberapa konsep yang berkembang menyiratkan bahwa pelaksanaan Assesmemt Nasional (AN) dilakukan hanya sebatas pemetaan pendidikan.
Mari ikuti analisis berikut, pemetaan adalah sebuah potret yang berhubungan dengan pendidikan dalam skala nasional. Nasional artinya gabungan banyak provinsi yang tersebar di belahan nusantara dan dihuni oleh populasi yang memiliki keunikan tersendiri.
Kemajemukan yang dimiliki oleh masyarakat nasional disatukan oleh satu bahasa diantara tujuh ratus lebih bahasa yang digunakan. Bahasa adalah representasi pikiran. Bagaimana pola pikir begitulah bahasanya.
Nah...! Pola pikir yang beragam menurunkan karakter yang berbeda pula. Keadaan ekonomi, budaya, dan karakter bisakah diajadikan potret dalam pendidikan melalui pelaksanaan AN?
Standar baku kelulusuan yang ditetapkan dengan skor yang tidak mempertimbangkan kompleksitas yang dimiliki oleh pebedaan telah menuai masalah.
Isu Penerapam Kembali Ujian Nasional ( UN)
Salah satu isu yang sering muncul terkait penerapan UN adalah mengenai keadilan. Banyak yang berpendapat bahwa UN hanya mengevaluasi kemampuan siswa secara akademis, tidak memperhitungkan faktor-faktor lain seperti kecerdasan emosional, keterampilan sosial, atau bakat dan minat siswa. Hal ini dapat membuat siswa yang memiliki kemampuan di luar akademis merasa terdiskriminasi.
Selain itu, terdapat juga isu mengenai tekanan yang ditimbulkan oleh UN terhadap siswa. Persaingan ketat dalam mendapatkan nilai tinggi membuat banyak siswa merasa tertekan dan stres.
Beban psikologis ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental siswa, bahkan ada kasus dimana siswa mengalami depresi atau stres berat karena UN.
Namun, pihak yang mendukung penerapan UN berpendapat bahwa ujian ini penting untuk menilai kualitas pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Dengan adanya UN, pemerintah dapat mengidentifikasi masalah-masalah dalam sistem pendidikan dan melakukan perbaikan yang dibutuhkan. Selain itu, UN juga menjadi parameter untuk mengevaluasi kinerja sekolah dan guru dalam memberikan pendidikan yang berkualitas.
Meski terdapat berbagai pendapat pro dan kontra tentang penerapan UN, kita tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya karena UN sendiri adalah hasil dari kebijakan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Namun, perlu ada upaya untuk memperbaiki sistem evaluasi pendidikan ini agar lebih adil dan tidak memberatkan bagi siswa. Sebaiknya pemerintah juga memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi hasil UN, seperti kualitas guru dan sarana pendidikan.
Ada hal yang menarik ketika Mas Menteri Nadiem Makarim mengambil kebijakan tentang penghapusan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2020 Walaupun mengundang kontroversi yang luar biasa tertama dalam birokrasi pendidikan Indonesia.
Berita ini menjadi viral dan trending topik pada aplikasi google. Sejuta pertanyaan membusur dalam bentuk optimis dan pesimis. Bagi pegiat pendidikan yang optimis, mereka menggangap ini langkah berani bagi seorang menteri muda yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan masalah yang ditangani.
Bagi pakar pendidikan yang pesimis, mereka menggangap sebuah eksperimen terbesar dalam pelaksanaan pendidikan. Artinya, ada kegalalan dan terobosan yang berbanding terbalik antara penghapusan sistem Ujian Nasional ( UN) dengan sistem baru yang digantikan. Mereka beranggapan jika ini berhasil, maka peringkat pendidikan Indonesia di mata dunia akan bergerak naik ke arah yang lebih baik.
Akan tetapi, jika gagal dapat dibayangka apa akan dituai. Selama ini bagaimana sistem yang tertata rapi telah runtuh dan butuh waku untuk menata kembali.
Dari proses panjang yang tidak mencapai hasil yang diharapkan maka ketika terjadi pergantian rezim, Berbondong-bondong orang bersuara menyampaikan kritikan dan meminta untuk dihidupkan kembali. Pertanyaan muncul lagi, Apakah pengembalian Instrumen pendidik secara Nasional ( UN ) dimasa depan dapat memberikan perubahan terhadap kualitas pendidikan Indonesia?
Apakah Asesmen Nasioanl dianggap Gagal?
Asesmen Nasional (AN) adalah salah satu alat penilaian yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Asesmen Nasional memiliki tujuan untuk mengevaluasi kemampuan belajar peserta didik dan memastikan standar pendidikan yang berkualitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Asesmen Nasional dianggap gagal dan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.
Asesmen Nasional dianggap gagal karena beberapa alasan. Pertama, banyak pihak yang meragukan kualitas ujian yang digunakan dalam Asesmen Nasional. Banyaknya kasus kebocoran soal ujian dan keraguan akan validitas soal ujian menjadi bukti bahwa Asesmen Nasional tidak sepenuhnya dapat dipercaya sebagai penilaian yang akurat terhadap kemampuan belajar peserta didik.
Kedua, Asesmen Nasional dianggap gagal karena tidak mampu memberikan informasi yang relevan dan mendalam tentang kemampuan belajar peserta didik.
Hasil ujian Asesmen Nasional cenderung menekankan pada prestasi akademis semata, tanpa memperhitungkan aspek-aspek lain yang juga penting dalam menilai kualitas pendidikan, seperti keterampilan sosial, kreativitas, dan kecerdasan emosional.
Selain itu, Asesmen Nasional juga dianggap gagal karena tidak memberikan panduan dan bantuan yang cukup kepada peserta didik setelah ujian dilakukan. Banyak peserta didik yang merasa kebingungan dan tidak mendapatkan feedback yang memadai setelah mengikuti ujian Asesmen Nasional. Hal ini dapat menghambat proses pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik secara keseluruhan.
Meskipun Asesmen Nasional dianggap gagal oleh sebagian masyarakat, penting untuk diingat bahwa Asesmen Nasional tetap merupakan alat penilaian yang penting dalam mengukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, perlu adanya perbaikan dan reformasi yang mendalam dalam sistem Asesmen Nasional agar dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan relevan dalam menilai kemampuan belajar peserta didik.
Baca Juga; Bagaimanakah Keberadaan Penelitian Kualitatatif dalam Dunia Akademik ?
Dengan demikian, Asesmen Nasional yang dianggap gagal dapat dijadikan sebagai momentum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan melakukan perubahan yang lebih baik, diharapkan Asesmen Nasional dapat menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Simpulan:
Nah... ! Panjangnya uraian di atas mengisyaratkan penulis bahwa tulisan ini harus diakhiri dengan simpulan.
1. Pengapusan Ujian Nasional ( UN) yang akan dilaksanakan pada tahun 2020 adalah sebuah terobosan baru untuk menjawab sebuah kemandekan secara holistik dalam sistem pendidikan Indonesia. Namun sayang hal itu telah menambah parah kondisi pendidikan indonesia secara nasional.
2. Jika alternatif pengggati Ujian Nasional ( UN) tidak dievaluasi secara tepat dan tidak punya standar baku dikuaatirkan sistem pendidikan Indonesia kehilangan arah dalam menata sumber daya manusia seperti yang diarahkan oleh tujuan pendidikan nasioal.
3. Sebsgai Insan pendidikan sebaiknya rasa optimistis harus dimiliki terhadap perubahan yang sedang digalakkan demi kemajuan dan majunya harkat martabat Bangsa Indonesia dari negara brrkembang menjadi negara maju pada tahun keemasan 2045.
Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA N 1 Lokseumawe
.
0 Komentar