Sumber: Dokumen Pribadi
Oleh: Muklis Puna
Ketika mau berangkat menuju kota tua, Aku singgah sebentar menjenguknya, seperti kebiasaan lama yang kulakukan ketika wajahnya penuh iba datang bertandang dalam pikiran. Waktu menunjukkan pukul 15. 45 Wib menjelang matahari berkemas menuju sarangnya setelah menyelesaikan rutinitas harian.
Ada dua belahan jiwa yang mengaduk- aduk jiwaku dalam beberapa hari ini, yaitu Ibuku dan malaikat kecilku. Sebagai cinta pertama dan buah hatiku, tentunya ini adalah sebuah kehangatan andai rasa itu bisa kulepas.
Sebelum Aku beranjak menuju Kota Peradaban masa silam. Aku ditelepon oleh Kakakku nomor yang tiga. Tiba- tiba Handphone ku menjerit- jerit seperti tambur di pukul hujan di BulanDesember, deras sekali. Sekilas kulihat sebuah nama timbul tenggelam dilayar kotak ajaib tersebut.
Setelah Kuangkat di ujung telepon terdengar suara Kakak ku yang berbicara, " Dik..! Apa kabar ni? . Bagaimana kondisinya sehatkah? Dengan nada santai Aku menjawab bahwa Aku sehat-sehat saja. Rupanya sayup-sayup kudengar dari ujung pembicaraan suara Ibu seperti berbisik "
Baca Juga: Setelah Ayah Menikah Lagi
Coba tanya, Masih Ingatkah sama Orang tuanya?"Mendengar bisikan tersebut, hatiku sepeti diiris sembilu, pikiranku seperti diaduk- aduk ada penyesalan yang sangat dalam, Mengapa aku seperti abai pada kondisi beliau?
Spontan Aku menjawab Kakakku" Kasih Tau Ibunda Insyaallah, Besok siang Aku ke sana" Sambil mengucapkan salam untuk menutup pembicaraan. Seiring telepon ditutup, pikiranku seperti langit ditumbuhi mendung.
Ada penyesalan yang menggumpal dalam dada. Aku tidak mampu berkata-kata , bibirku beku, lidahku kelu. Di sudut bola mata ada embun yang perlahan turun mengairi pipi sampai ke bibir. Kurasakan air mata kerinduan Ibu yang numpang lewat pada lidahku kala itu.
Waktu terus melipat jarak, Aku langsung berangkat menuju kota tua sembari singgah sebentar untuk mengobati rindu yang amat dalam. Cinta pertamaku menggelayut dalam lamunan, ketika Aku sedang mengendarai.
Sesekali Aku membatin dan mengukur berapa banyak budi yang bisa kubalas dibanding dengan air susu nya yang telah ku minum. Berapa banyak waktu dan dana yang kubutuhkan untuk membalas semua itu? Namun Aku terkejut, ternyata itu memang tidak sanggup kulakukan, hanya doa di ujung salat sebagai obat peneduh jiwa.
Sesekali Aku berpikir, kenapa baru sekarang ketika senja sudah merapat pada dirinya Aku baru tersadar? Kenapa baru sekarang, ketika pipa-pipa biru membusur di kulitnya Aku jadi punya perhatian lebi?
Kenapa sekarang, ketika Ia sudah tidak bisa lagi membedakan antara Aku anaknya yang bertandang ke rumahnya dengan orang lain? Kenapa baru sekarang, ketika suaranya sudah terlalu menjauh dari kerongkongan saat Ia memanggil namaku.
Sejuta " Kenapa" melilit di pinggangku. Aku terjebak dalam nafsu dunia, hingga Kau terlupakan bunda, pikirku.
Seandainya bisa kulit dan tulang ini kupisahkan dari jasad maka akan kujadikan sebagai jembatan dan selimut agar
Kau tidak digigit binatang jalang saat melintasi hidup. Seandainya hukum membolehkan, maka air mata kerinduanmu akan kutampung dalam kolam kasih sayang dan ku jadikan sebagai wudhu ku dalam menyembah-Nya,
Baca Juga: Kenangan yang Tak Terlupakan
Ah... begitu panjang dan menyedihkan lamunan ini. Tiba-tiba Aku sudah sampai di persimpangan menuju arah masuk ke rumah ku. Rumah yang sudah kutinggalkan selama tiga puluh tahun lebih.
Masih teringat pada kenangan, ketika Aku masih sekolah di SMA, mengayuh sepeda butut dan kuparkir di simpang tersebut. Mungkin dengan sepeda butut dan Doa dari perempuan senja itu
Aku bisa seperti ini hari ini. Dengan uang jajan pas-pasan Aku mencoba bermain-main dengan harapan waktu itu . Namun lewat belaian ibu dan makanan yang disiapkan untuk Aku sekolah, makanya
Aku bisa seperti ini. Masih terngiang di telinga, ketika pukul 05 pagi Aku dibangunkan untuk salat dan sarapan pagi. Semua itu dilakukan dengan rasa tanggung jawab dan keikhlasan. Dengan jumlah anaknya sampai sebelas orang Ia mampu memberikan kasih sayang kompleks.
Bagi Kami anak-anaknya, Ibu adalah seperti matahari yang tak pernah membedakan kadar sinarnya yang diberikan kepada kami.
Perjalananku menemui perempuan senja dan pacar pertamaku dalam hidup tak terasa sudah sampai di depan mata. Lewat perasan rindu yang begitu dalam dan sejumlah harapan menerawang dalam pikiran. Rumah panggung tempat
Aku dilahirkan dan dibesarkan masih berdiri kokoh di depan ku. Dari kaca mobil Aku menyaksikan kondisinya sudah mulai rapuh , maklum rumah itu sejak ditinggalkan oleh Ayahanda selama 20 tahun lalu mulai tampak lusuh dan kelelahan menanggung hidup, Perlahan Aku masukkan mobil ku ke halaman rumahku.
Seperti juga waktu sebelumnya, ketika Aku pulang menjenguknya , Aku selalu mencari dirinya. Bagiku yang terpenting adalah dalam kondisi apapun ketika Aku sampai ke rumahku Aku tetap menemuinya untuk pertama kali .
Aku telah mengharamkan untuk tidak bersalaman dengan siapapun kecuali dengan dirinya. Rasa rindu yang menyerang kalbu membuat Aku semakin menggebu-gebu ingin bertemu dengan dirinya.
Ketika itu kucari Dia kesana-sini, Ia tak ada , lalu kupanggil Dia " Assalamualaikum..Ibu! Ibu... ! " Aku pulang Bu" Namun tak ada jawaban. Perasaanku semakin kacau dan cemas. Aku mulai kuatir tentang keberadaanya.
Astagfirullah..! Bertapa terkejutnya diriku, rupanya Dia sedang tidur di atas kursi panjang tempat dimana Ia selalu menungggu diriku pulang.
Betapa hancur hati dan pikiranku, ketika kusaksikan tubuhnya yang begitu melemah dan lesu. Perlahan kubangunkan Dia "Ibu..! Aku Pulang." sejurus kemudian Ia terkejut dan bertanya " Siapa ya?" Maklum kondisi matanya yang sudah kabur dan ditutup kulitnya yang mulai keriput.
Ketika Ia mendengar suaraku, baru tersadarkan bahwa itu Aku yang pulang. Begitu Dia melihat Aku... tak dapat dibayangkan apa yang terjadi. Seperti tanah kemarau rasa yang didatangi musim hujan.
Dia langsung memelukku dan mencium ku berkali- kali. Dalam pelukan eratnya Dia meracau" Kenapa lama sekali Nak Engaku menjengukku? Tadi pagi baru saja ku panggil namamu Nak. Ada kamu dengar nak?" Rupanya Ia berhalusinasi dalam kerinduan.
Aku tak bisa berkata apa- apa, dadaku tersumpal keharuan. bibirku kebas- kebas hanya pelukan hangat yang kurasakan .
Sesungguhnya Ia selama ini sedang mengapit bulan, dan bulan itu adalah kehadiranku dalam pelukannya. Dalam keheningan dan kerinduan kucoba menghibur dan mendengarkan segala keluh kesah yang dialami. Sambil manggut-manggut Aku menjadi pendengar yang baik tentang penyakit yang Dia derita selama ini.
Setelah suasana mulai mencair,Aku mohon izin untuk melanjutkan perjalanan menjemput cinta keduaku yang sudah libur dari kuliah dan kembali lagi bersamamu selama satu bulan****
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawee
0 Komentar