Oleh: Mukhlis, S.Pd ., M.Pd
Apabila Anda ke Sumatera Barat dengan Ibukotanya Padang, Anda akan mendapati sejumlah warung nasi yang menjual nasi Padang.
Walupun setelah ada telusuri lebih jauh tidak ada satupun warung nasi di Padang yang memakai nama warung dengan nama "Warung Nasi Padang" Hal ini tentunya akan berbeda ,apabila Anda jalan-jalan di kota -kota besar di Aceh Anda akan mendapati kios atau warung dengan nama " Di sini...Menjual Mie Aceh"
Suatu ketika penulis ditugaskan dari kampus untuk membawa mendampingi mahasiswa Bahasa Sastra Indonesia dari salah satu Kampus ke Sumatera Barat ( Padang) untuk kegiatan seminar nasional yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa seluruh Indonesia. Selama 12 hari penulis di sana, ada banyak hal yang penulis dapatkan terutama berhubungan dengan makanan dan minuman.
Untuk makanan, penulis tidak mengalami kendala karena penulis salah satu penyuka nasi Padang. Salah satu yang membuat penulis kalang- kabut adalah tidak tersedianya warung kopi ( cafe) sebagaimana kondisi penulis di Aceh.
Penulis hanya mendapati warung nasi yamg begitu banyak bertaburan di setiap sudut kota.. Berdasarkan kondisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa "Jumlah warung nasi yang ada di Padang sama jumlahnya dengan warung kopi yang ada di Aceh"
Baca Juga: Yuk! Kenali Siapa Sebenarnya Guru Favorit dalam Perspektif Siswa
Seiring perkembangan teknologi informasi dan ekonomi warung kopi yang ada di Aceh sudah bertranformasi menjadi modern baik dari segi bentuk, fungsi dan nama yang digunakan.
Fenomenal Warung Kopi Zaman Dahulu
Dahulu, ketika penulis masih bersekolah pada jenjang SMP, di Aceh semua warung kopi masih bersifat tradisional, baik dari segi bentuk, pengunjung dan fungsi.
Dari segi bentuk warung kopi yang ada di Aceh berada di setiap desa, namun jumlahnya sedikit mungkin pada saat itu sebanding dengan perkembangan populasi masyarkat Aceh. Biasanya bentuk warung tersebut sangat sederhana dan dibuat seadanya.
Pengunjung warung kopi di Aceh pada zaman dahulu terdiri dari kaum laki-laki saja. Itupun kaum laki-laki yang sudah balig. Ada semacam keanehan dalam masyarakat Aceh apabila ada kaum perempuan yang berada di warung kopi.
Kaum perempuan hanya diperbolehkan untuk menempatkan penganan makanan atau kue dan membeli kopi untuk dinikmati di rumah. Selebihnya apabila ada kaum perempuan di warung itu sebuah keanehan.
Kaum laki-laki pun hanya memanfaatkan warung kopi yang sederhana ini untuk istirahat sepulang kerja. Kadang juga yang memanfaatkan warung kopi sebagai transaksi keuangan sesama penjual dan pembeli atau penjual dengan tengkulak.
Tidak mengherankan apabila warung kopi di Aceh ada transaksi keuangan yang berlangsung puluhan dengan tarif jutaan antara pengusaha dengan karyawannya.
Selanjutnya, keberadaan kaum laki-laki di warung pada kopi di Aceh hanya sekedar untuk membicarakan perkembangan pembangunan yang ada di desa dan kadang mereka melakukan diskusi politik ala warung kopi.
Baca Juga: Penanganan Berjenjang Siswa Bermasalah adalah Sebuah Solusi Jitu, Tepatkah?
Berada di warung kopi bagi masyarakat Aceh khususnya kaum laki -laki adalah seperti adanya suatu kewajiban. Intinya warung kopi yang ada di Aceh adalah rumah kedua bagi kaum laki laki
Warung Kopi di Aceh Masa Kini
Perkembangan terjadi sangat cepat, dunia seolah-olah menjadi sangat kecil. Waktu berputar begitu cepat, jarak antara satu tempat dengan lainya seperti dilipat.
Informasi didapat begitu mudah. Keadaan aman tentram tiba-tiba bisa menjadi ( Virus Aktual) atau Viral.
Orang -orang mulai berjauhan silaturahmi berkurang, orang- orang jauh mulai dekat dalam genggaman. Teman- teman dekat, tetangga sahabat kerabat mulai dijauhkan.
Hal di atas tentunya berdampak pada tranformasi budaya yang ada dalam masyarakat Aceh khususnya berkaitan dengan warung kopi. Bentuk warung kopi yang dulu sederhana, kini berubah menjadi cafe - cafe megah yang didatangi pengunjung dari berbagai strata dan satus Sosial.
Dahulu, informasi yang didapat di warung kopi hanya dari orang -orang yang punya intelektual atau surat kabar lokal, itupun hanya terdiri dari beberapa halaman dan kolom.
Hal di atas, kini telah menjadi sebuah transformasi budaya masyarakat Aceh. Tersedianya Jaringan WIfi setiap cafe yang ada di Aceh telah mengubah sikap, pola pikir dan tindakan masyarakat Aceh.
Jaringan internet gratis tak berbayar membuat masyarakat yang berkunjung lebih mudah berselancar mencari berbagai informasi untuk berbagai keperluan.
Kehadiran kaum perempuan sebagai pelayan - pelayan di cafe saat ini bukan lagi suatu hal yang tabu dalam masyarakat Aceh. Gadis - gadis remaja dengan segala penampilan telah membawa daya tarik tersendiri bagi pengunjung warung kopi.
Tentunya kehadiran gadis - gadis remaja dengan balutan pakaian muslimah menambah nuansa Keacehan dalam budaya baru masyarakat Aceh.
Dibandingkan zaman dahulu, orang-orang yang berkunjung ke warung kopi atau cafe saat ini lebih wah dan elegan. Hampir semua cafe yang ada di Aceh selalu dipenuhi oleh mobil pengunjung dari berbagai merek..
Masalah yang diperbincangkan pun berbeda tidak hanya berkutat pada masalah politik semata,namun sudah merambah semua lini kehidupan masyarakatnya.
Rapat -rapat besar dari segala instansi pemerintah baik tingkat desa ataupun kecamatan sudah mulai memanfaatkan warung kopi untuk berbagai kegiatan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Ciri, Bentuk, Bahasa, dan Masalah dalam Esai
Pihak pengelola cafe pun lebih gesit melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat. Oleh karena itu, mereka mulai menyiapkan segala sarana dan prasarana yang mendukung hal tersebut.
Simpulan:
Uraian di atas memberikan suatu simpulan bahwa kemajuan informasi dan teknologi telah memberi sebuah perubahan budaya dalam masyarakat Aceh. Hal ini tentu berkaitan dengan warung kopi yang ada dalam masyarakat Aceh, baik dari segi bentuk, fungsi, pengunjung dan nama itu sendiri.
Perubahan ini tentunya memberikan sebuah kajian baru dalam disiplin ilmu lain khususnya berkaitan dengan budaya yang ada dalam masyarakat.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar