Sumber: Dreamina.capcut.com
Oleh Mukhlis, S. Pd., M.Pd
"Bahasa adalah tanda, sementara makna adalah penanda."
Ungkapan ini tidak disertai nama pengucapnya karena telah menjadi pengetahuan umum dalam kajian semantik. Dalam ilmu semantik, tanda merujuk pada simbol bunyi yang dalam bentuk utuh disebut bahasa.
Sementara itu, penanda dikaitkan dengan makna yang muncul dari rangkaian bahasa yang digunakan oleh seorang penyair.
Secara etimologis, istilah "Semantik" berasal dari bahasa Yunani semainein, yang berarti "makna". Makna sendiri merupakan konsep yang memiliki cakupan luas, tergantung pada konteks penggunaannya.
Dalam bahasa Inggris, istilah semantics juga berakar dari kata Yunani sema, yang berarti "tanda" atau "lambang". Dalam kajian linguistik, tanda tersebut berupa fonem atau kumpulan fonem (Suhardi, 2003:1).
Baca juga: Menulis atau Dilupakan: Perjalanan Menuju Keabadian
Dalam esai ini, kajian semiotika akan diterapkan pada bait-bait dalam puisi IBU karya Hening. Fonem atau susunan fonem yang menjadi bagian dari bahasa sering disebut signifiant, yakni bunyi atau urutan bunyi yang digunakan untuk mewakili konsep, gagasan, ide, atau pemahaman tertentu. Dengan demikian, konsep atau ide dalam puisi tidak dapat dipisahkan dari satuan bahasa yang menandainya.
Kajian semiotika juga mempertimbangkan aspek bentuk, makna, referensi, serta hubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang membentuk medan makna (Suhardi, 2003).
Sebelum membahas lebih jauh makna dalam puisi IBU, penting untuk mengenal lebih dekat sosok penyairnya. Meskipun dalam kajian semiotika identitas penulis tidak selalu menjadi faktor utama, dalam pendekatan ekspresif, hubungan antara penyair dan karyanya juga bisa menjadi bahan kajian.
Baca Juga: Esai: Jalan Mudah Menuju Kreativitas dan Ekspresi Tanpa Bata
Penyair bernama asli Sumiyati Kunderi lahir di Jepara pada tahun 1968. Di media sosial, ia sering menggunakan nama pena "Hening". Alasan pemilihan nama tersebut tidak dijelaskan, tetapi bisa menjadi pertanyaan menarik bagi pembaca.
Ia memiliki latar belakang sebagai pendidik, meskipun saat ini tidak aktif mengajar. Namun, informasi ini dirasa cukup untuk mengenalkan penyair kepada pembaca sebelum masuk ke inti analisis semiotika dalam puisinya.
Kajian Semiotika
Diksi IBU digunakan sebagai judul puisi ini bertepatan dengan peringatan Hari Ibu. Namun, pertanyaan muncul: mengapa judul harus sama dengan tema? Di sinilah kajian semiotika berperan dalam mengungkap makna yang terkandung dalam diksi tersebut.
Sekilas, judulnya tampak sederhana, tetapi dalam kajian semiotika, terdapat tiga perubahan makna dalam bahasa, yaitu:,Peyorasi (perubahan makna menjadi lebih negatif), Ameliorasi (perubahan makna menjadi lebih positif atau luas)dan Sinestesia (perubahan makna yang melibatkan indra berbeda)
Dalam puisi ini, perubahan makna yang terjadi lebih mengarah pada ameliorasi, yakni perluasan makna. Dahulu, kata ibu memiliki makna yang lebih terbatas, yaitu sebagai sapaan bagi perempuan yang telah berkeluarga.
Namun, seiring perkembangan zaman dan soIsial budaya, makna ibu meluas, digunakan untuk menyapa perempuan yang sudah berusia paruh baya, terlepas dari status pernikahannya.
Namun, dalam puisi IBU karya Hening, diksi ibu masih digunakan dalam makna tradisional, yaitu merujuk pada sosok perempuan yang telah berkeluarga.
Analisis Makna dalam Bait Pertama
Larik pertama dalam puisi ini berbunyi:
"Bagiku kau tak hanya buku"
Diksi buku dalam KBBI memiliki beberapa makna, salah satunya adalah "kitab". Dalam konteks ini, penyair tampaknya ingin menyandingkan ibu dengan kitab, yang memiliki makna sakral dan berisi pedoman hidup.
Hal ini menunjukkan adanya nilai religius dalam pemilihan kata. Kesakralan sosok ibu, terutama dalam ajaran Islam, sangat ditekankan dalam hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa keridaan Allah bergantung pada keridaan seorang ibu.
Lebih lanjut, diksi kitab dalam puisi ini melambangkan pedoman hidup yang tak boleh diabaikan oleh seorang anak. Pemilihan kata ini tentu tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan melalui pertimbangan yang matang.
Analisis Larik Berikutnya
Pada larik:
Diksi rahasia dan labirin waktu menggambarkan betapa dalamnya perasaan seorang ibu dalam menyimpan segala hal yang berkaitan dengan anaknya. Kata rahasia menandakan adanya sesuatu yang tersembunyi, meskipun tampak jelas.
Sementara itu, labirin waktu memiliki makna yang lebih kompleks. Dalam pengertian umum, labirin adalah jalur yang berliku dan membingungkan. Dalam konteks puisi ini, labirin waktu bisa diartikan sebagai perjalanan panjang kehidupan seorang ibu yang penuh dengan pengorbanan.
Sebagai seorang ibu yang telah memiliki pengalaman hidup, penyair mampu menggambarkan makna pengorbanan tersebut melalui diksi yang dipilihnya. Pengalaman sebagai ibu dan sebagai anak memberikan perspektif yang lebih dalam dalam menginterpretasikan peran seorang ibu dalam keluarga.
Simpulan
Bait pertama dalam puisi ini dapat dianggap sebagai inti dari keseluruhan puisi, sementara bait-bait berikutnya merupakan pengembangan dari gagasan utama. Keseluruhan puisi ini memperlihatkan betapa besarnya pengorbanan seorang ibu yang tidak dapat terbalaskan oleh anaknya. Bahkan, dalam larik terakhir:
"Ah ibu, tak akan pernah habis puisi tentangmu"
Penyair mengungkapkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan kebesaran seorang ibu. Ketika kata-kata tak lagi cukup untuk mengekspresikan rasa hormat dan cinta kepada ibu, di situlah makna sejati dari pengorbanan seorang ibu menjadi semakin mendalam.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
0 Komentar