Investasi Pendidikan untuk Masa Depan Bangsa: Urgensi Penanganan Anak Putus Sekolah

Investasi Pendidikan untuk Masa Depan Bangsa: Urgensi Penanganan Anak Putus Sekolah

 

               Sumber: Dokumen  Pribadi 


Oleh: Masitah Inayah 

Coba bayangkan apa yang terjadi jika sebuah sepeda tidak memiliki roda. Apakah sepeda tersebut bisa dikendarai dengan baik? 

Tentu tidak. Hal yang sama berlaku bagi suatu negara. Apakah negara dapat mencapai kesejahteraan tanpa pendidikan yang berkualitas? 

Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu menuju kemajuan bangsa. Investasi terbaik bagi bangsa ini bukanlah sekadar pembangunan infrastruktur yang megah, melainkan penyediaan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak Indonesia. 

Investasi dalam pendidikan menjadi salah satu cara utama untuk menyiapkan Indonesia menuju Generasi Emas 2045.

Baca Juga: Bahasa, Makna, dan Semiotika: Menyingkap Puisi IBU Karya Hening

Pertumbuhan Indonesia sangat bergantung pada generasi muda. Kemajuan suatu bangsa juga dapat diukur dari kualitas pendidikan yang diberikan kepada warganya. 

Generasi Emas 2045 merupakan sebuah visi besar dalam mempersiapkan generasi muda yang kompeten dan memiliki daya saing tinggi. 

Melalui pendidikan, kita dapat melahirkan generasi yang cerdas, terampil, berkarakter, dan berintegritas. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perbaikan.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat sistem pendidikan di Jepang. Berdasarkan survei Best Country Report oleh US News and World Report, Jepang menduduki peringkat ke-7 sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia pada tahun 2021. 

Sementara itu, menurut World Population Review, Indonesia hanya menempati peringkat ke-54, di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sistem pendidikan di Indonesia masih rendah. 

Oleh karena itu, esai ini akan mengulas permasalahan dan menawarkan solusi terkait sistem pendidikan yang berdampak langsung pada masa depan anak-anak Indonesia.

Mengungkap Fakta dan Realita Kasus Anak Putus Sekolah

Pendidikan harus menjadi prioritas bagi negara berkembang yang ingin menghapuskan lingkaran kemiskinan dan menggantikannya dengan kesejahteraan. 

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha yang disengaja untuk menciptakan lingkungan di mana peserta didik dapat aktif dalam proses belajar guna mengembangkan potensinya. 

Namun, dalam implementasinya, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu yang paling krusial adalah tingginya angka anak putus sekolah.

Baca Juga: Sastra di Era Digital: Refleksi Karya dan Apresiasi dalam Media Sosial

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), anak putus sekolah adalah penduduk usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikan di jenjang yang seharusnya. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada Maret 2023 mencatat bahwa jumlah peserta didik pada tahun ajaran 2024/2025 mencapai 52.913.427 siswa, turun 0,56% dibandingkan tahun ajaran 2023/2024 yang berjumlah 53.212.177 siswa. 

Dalam lima tahun terakhir, angka anak tidak sekolah di kelompok usia 7-12 tahun cenderung stagnan di sekitar 0,6%. Fakta menunjukkan bahwa semakin tinggi usia anak, semakin besar kemungkinan mereka untuk putus sekolah..

Faktor ekonomi menjadi penyebab utama tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses pendidikan yang layak. 

Keluarga dengan pendapatan minim cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar dibandingkan biaya pendidikan. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan orang tua juga berdampak pada kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. 

Meskipun pemerintah telah memberikan bantuan melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) sejak 2014, masih banyak daerah terpencil yang belum menerima manfaatnya secara optimal.

Selain faktor ekonomi, faktor internal dari anak itu sendiri juga menjadi penyebab putus sekolah. Ketidakteraturan dalam mengikuti pelajaran, kurangnya motivasi belajar, serta kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar menyebabkan anak tertinggal dalam pelajaran dan akhirnya memilih untuk berhenti sekolah. 

Akibatnya, mereka menghadapi berbagai konsekuensi jangka panjang yang merugikan.

Konsekuensi Jangka Panjang bagi Anak yang Putus Sekolah

Salah satu dampak utama tingginya angka putus sekolah adalah menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Indonesia membutuhkan SDM yang berkualitas untuk mencapai visi Generasi Emas 2045. Namun, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dalam satu dekade terakhir hanya meningkat sebesar 7,67%, jauh di bawah rata-rata negara maju yang memiliki IPM di atas 80%. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan masih menjadi hambatan serius bagi kemajuan bangsa.

Selain itu, anak-anak yang putus sekolah akan mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Tingkat pendidikan yang rendah berbanding lurus dengan keterbatasan dalam dunia kerja. 

Standar rekrutmen tenaga kerja semakin meningkat, dengan banyak perusahaan yang mensyaratkan gelar akademik, pengalaman kerja, dan sertifikasi khusus. Akibatnya, anak putus sekolah lebih rentan bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak stabil.

Dampak lainnya adalah meningkatnya risiko keterlibatan dalam perilaku negatif. Seorang guru yang telah mengajar selama 30 tahun pernah menulis dalam sebuah unggahan di media sosial bahwa tidak ada satu pun murid putus sekolah yang dikenalnya berhasil dalam kehidupan. 

Banyak di antara mereka terjebak dalam masalah kesehatan mental, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, serta bahkan kriminalitas yang berujung pada pemenjaraan.

Kemiskinan juga menjadi akibat dari tingginya angka putus sekolah. Menurut BPS, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar yang layak.

Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang stabil, sehingga mereka cenderung hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Lingkaran kemiskinan ini akan terus berulang dari generasi ke generasi jika tidak ada intervensi yang efektif.

Solusi dan Langkah Strategis

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan peran orang tua dalam pendidikan anak. 

Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan dapat meningkatkan prestasi akademik, mengurangi ketidakhadiran siswa, dan mendorong anak untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan distribusi guru yang merata, terutama di daerah terpencil. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan program distribusi guru berkualitas ke pelosok negeri. Program ini harus diperkuat agar semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang setara.

Simpulan

Pendidikan adalah senjata utama bagi kemajuan Indonesia. Namun, tingginya angka anak putus sekolah menjadi tantangan besar yang harus segera ditangani. 

Faktor ekonomi, rendahnya kesadaran pendidikan, dan kurangnya akses terhadap guru berkualitas menjadi penyebab utama permasalahan ini. Dampaknya sangat luas, mulai dari rendahnya kualitas SDM, keterbatasan dalam dunia kerja, hingga meningkatnya angka kemiskinan.

Baca Juga: Gaya Bahasa: Seni Bersembunyi di Balik Kata-Kata

Oleh karena itu, upaya peningkatan partisipasi orang tua, distribusi guru yang merata, serta kebijakan pendidikan yang inklusif harus segera diimplementasikan secara maksimal. 

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat memperbaiki sistem pendidikannya dan mewujudkan visi Generasi Emas 2045.


Penulis adalah Siswa Kelas X -9 SMA Negeri 1 Lhokseumawe

 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar