Sastra di Era Digital: Refleksi Karya dan Apresiasi dalam Media Sosial

Sastra di Era Digital: Refleksi Karya dan Apresiasi dalam Media Sosial

 

                                      Sumber: Pixabay 


Oleh: Mukhlis, S..Pd., M.Pd.

"Jika ingin terkenal, silakan kencingi sumur Zamzam."

Pepatah Arab ini bisa menggambarkan tujuan penulis yang ingin menggugah ketenangan dunia maya. Dalam artikel yang agak kontroversial dan sedikit provokatif ini, penulis mencoba  membangunkan kembali semangat sastra yang selama ini terlelap di balik akun-akun media sosial. 

Tulisan yang tajam ini mulai menjalar di kalangan para sastrawan di dunia maya. Penulis melihat, sejauh ini, Facebook hanya digunakan untuk berbagi puisi sebagai cara melepaskan stres. Setiap postingan biasanya mendapat banyak jempol dan komentar positif.

Baca Juga: Gaya Bahasa: Seni Bersembunyi di Balik Kata-Kata

Komentar-komentar tersebut umumnya berisi pujian seperti "Hebat," "Luar biasa," atau "Kamulah maestro." Banyak pujian tertulis dengan rapi pada setiap postingan. Namun, dari pengamatan penulis dalam tiga tahun terakhir, hanya sedikit yang berisi kritik. 

Bahkan ada penyair yang meminta karyanya dikritik dan diberi masukan (kritikan konstruktif). Apakah komentar seperti ini, baik pujian maupun kritik, salah? 

Menurut penulis, itu adalah bentuk motivasi bagi penyair dalam berkarya, seperti yang dikatakan Malik (Djamarah, 2003), yang membedakan motivasi menjadi dua, yaitu intrinsik (dari dalam diri) dan ekstrinsik (dari luar), yang bisa berupa pujian atau kritik.

Baca Juga:Seni Mengonversi Cerpen ke Puisi: Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA

Secara umum, dalam budaya yang sopan, pujian dianggap sebagai tambahan yang menyemangati seseorang dalam melakukan kegiatan.

Terkait dengan karya sastra, pujian adalah bentuk apresiasi dari pembaca, terlepas dari pengetahuan sastra dan status pembaca itu sendiri.

Untuk menghindari kebingungannya pembaca, mari kita kembali pada pepatah Arab yang menjadi pembuka tulisan ini. Dengan memposting tiga esai berturut-turut dalam waktu dekat, penulis berhasil menimbulkan pro dan kontra tentang isu yang dibahas.

Alhamdulillah, hasilnya luar biasa. Berbagai teori, konsep, dan pengalaman yang dibagikan oleh para pengampu sastra dengan latar belakang akademik yang beragam telah memberikan pelajaran sastra yang tidak didapatkan di bangku kuliah.

Baca Juga: Alur Cerpen: Jantungnya Narasi yang Memikat Pembaca

Bagi penulis, ini adalah inovasi baru dalam memanfaatkan media sosial yang sering dianggap negatif. Tanggapan terhadap materi yang disajikan oleh pengampu sastra diterima dengan cara yang unik. 

Bagi yang sudah berpengalaman, ini dianggap sebagai ilmu tambahan. Namun, bagi pemula, hal ini dianggap sebagai pengetahuan baru dan pengalaman dalam berkarya. Namun, ada juga penyair yang berkomentar, "Jangan dibahas terlalu detail, nanti malah tambah bingung." "Nikmati saja puisi itu sebagai luapan penyair yang meledak-ledak tanpa perlu analisis yang rumit" 

Sastra maya memang unik, ya...?


Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe 

 



Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar