Oleh: Muklis Puna
Seikat kata meledak ledak di dada.
Ingin keluar tapi kemarau kerongkongan menghadangnya.
Kadang ia bersetubuh dengan darah lalu mengalir ke saraf memporak porandakan sesisi tubuh.
Ingin keluar tapi kemarau kerongkongan menghadangnya.
Kadang ia bersetubuh dengan darah lalu mengalir ke saraf memporak porandakan sesisi tubuh.
Untaian huruf itu berontak, mohon kebebasan dari berbagai makna yang ditabalkan padanya.
Sekali dalam semasa ia menjerit seperti petir, hingga seisi tubuh terjaga.
Sekali dalam semasa ia menjerit seperti petir, hingga seisi tubuh terjaga.
Baca Juga ; Puisi: Dalam Kesederhanaan, Bersamamu
Keluarkan..... Aku!!
Keluarkan...... Aku dari dada yang pengap ini...!
Aku ingin bebas...
Jangan libatkan Aku dalam gejolak mu.
Keluarkan...... Aku dari dada yang pengap ini...!
Aku ingin bebas...
Jangan libatkan Aku dalam gejolak mu.
Silakan saja Kau memaki!
Silakan saja Kau menghardik!
Silakan saja Kau mencaci sepuas hatimu.
Silakan saja Kau menghardik!
Silakan saja Kau mencaci sepuas hatimu.
Bacq Juga: Puisi: Harum Ramadhan di Balik Rembulan
Tapi ingat!
Aku bukan budakmu.
Sudah cukup beban dosa yang kupikul akibat kecerobohan mu.
Aku bukan cerobong dosa mu.
Sudah cukup beban dosa yang kupikul akibat kecerobohan mu.
Aku bukan cerobong dosa mu.
Aku adalah aku..!
Kau adalah kau...!
Kau adalah kau...!
Tak ada ikatan apapun antara kau dan aku.
Jika jiwaku masih terpenjara dalam jiwamu.
Akan kuludahi mukamu dengan semburan panas di jembatan keadilan.
Jika jiwaku masih terpenjara dalam jiwamu.
Akan kuludahi mukamu dengan semburan panas di jembatan keadilan.
Banda Aceh, 4 Maret 2025
0 Komentar