Menggugah Literasi di Balik Jempol Media Sosial

Menggugah Literasi di Balik Jempol Media Sosial

 

                                                        Sumber: Dreamina.capcut.com

Oleh; Mukhlis, S.Pd., M.Pd. 

"Jika ingin terkenal,  kencingi sumur zamzam." 

Pepatah Arab yang kontroversial ini sengaja saya hadirkan sebagai pembuka, layaknya batu yang dilemparkan ke tengah danau maya yang tenang. Tujuannya bukan sekadar mengusik, melainkan lebih jauh, untuk menggugah kesadaran literasi yang mungkin tengah tertidur lelap di balik gemerlap dunia digital. 

Penulis sengaja memantik api kontroversi, menyajikan isu yang mungkin terasa sedikit "seksi" dalam ranah wacana yang luas.  Hal ini dilakukan  dengan harapan dapat membangunkan "harimau sastra" yang selama ini bersembunyi di balik akun-akun media sosial. Aroma tajam esai dan artikel   sengaja penulis sebarkan dengan harapan  mampu merambat dan menyentuh "goa-goa" akun para "singa sastra" di lautan maya ini.

Selama ini, pengamatan penulis  selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa platform seperti Facebook  Istagram, dan Tiktok cenderung dimanfaatkan sebagai salah satu  ruang publikasi status berbentuk puisi. 

Sebuah medium katarsis untuk melepaskan penat dan gejolak jiwa. Setiap unggahan, layaknya pertunjukan yang dinanti, selalu dibanjiri dengan jempol dan komentar yang beragam. Namun, ironisnya, mayoritas komentar yang penulis  amati berkisar pada pujian semata: "Woow...hebat!", "Luar biasa!", "Super sekali!", "Kamulah sang maestroku!". 

Barisan pujian tertata rapi menghiasi setiap postingan. Sangat jarang, bahkan nyaris tidak ada, komentar yang bernada kritis membangun. Fenomena ini bahkan mendorong beberapa penyair untuk secara eksplisit meminta kritik dan saran atas karya mereka ("Krisan dong").

Lantas, muncul pertanyaan: apakah salah dengan komentar-komentar tersebut, baik pujian maupun kritikan, dari para pembaca? Menurut pandangan saya, keduanya memiliki peran penting sebagai bentuk motivasi bagi seorang penyair dalam berkarya. 

Hal ini selaras dengan pemikiran Malik (Djamarah, 2003) yang membagi motivasi menjadi dua jenis utama: intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri, sebuah kekuatan internal yang sulit digoyahkan. Sementara itu, motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar, dan dalam konteks ini, pujian dan kritikan dari pembaca dapat menjadi salah satu bentuknya.

Dalam interaksi sosial yang berbudaya halus, pujian seringkali dianggap sebagai suplemen tambahan, sebuah penguat positif dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Jika ditarik benang merahnya  dalam konteks apresiasi karya sastra, pujian terhadap sebuah puisi atau tulisan dapat diartikan sebagai sambutan atau apresiasi yang diberikan oleh pembaca. 

Hal ini  terlepas dari latar belakang keilmuan sastra,  maupun status sosial yang mereka miliki. Pujian menjadi jembatan emosional antara penulis dan pembaca, sebuah pengakuan atas karya yang telah dilahirkan.

Namun, agar pembaca tidak kehilangan arah dalam labirin tulisan ini, mari kita kembali pada pepatah Arab yang menjadi pembuka. Melalui serangkaian esai yang penulis posting tiga kali berturut-turut dalam rentang waktu yang berdekatan, penulis sengaja melemparkan isu yang memicu polarisasi pendapat. 

Alhamdulillah, "pancingan" yang penulis  lakukan membuahkan hasil yang luar biasa. Para pengampu sastra dari berbagai latar belakang akademik mumpuni, dengan bekal teori, konsep, dan pengalaman yang kaya, terpanggil untuk memberikan tanggapan. Mereka menyajikan pembelajaran sastra yang otentik, tanpa terikat oleh batasan SKS maupun ruang kuliah formal.

Bagi  penulis  pribadi, fenomena ini merupakan sebuah terobosan baru dalam memanfaatkan media sosial, yang selama ini seringkali diidentikkan dengan hal-hal negatif. Tanggapan dan materi yang disajikan oleh para pengampu sastra diterima dan diinterpretasikan secara unik oleh para pembaca.

Bagi mereka yang telah memiliki pemahaman mendalam tentang sastra, diskusi ini dianggap sebagai ilmu tambahan, memperkaya perspektif dan analisis mereka. Sementara itu, bagi para pemula dalam dunia literasi, interaksi ini menjadi sumber ilmu baru dan pengalaman berharga dalam berkarya. 

Mereka mendapatkan kesempatan untuk belajar langsung dari para ahli, menyerap berbagai sudut pandang dan pendekatan dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra.

Namun, di tengah antusiasme ini, muncul pula suara-suara yang berbeda. Ada seorang penyair yang berkomentar dengan nada sedikit khawatir, "Jangan dipaparkan begitu detail, yang ada malah tambah bingung. Nikmati saja puisi itu sebagai luapan emosi penyair yang meledak-ledak tanpa perlu kajian segala." 

Komentar ini merefleksikan sebuah pandangan bahwa esensi puisi terletak pada ekspresi spontan dan intuitif, bukan pada analisis dan dekonstruksi yang mendalam. Pandangan ini tentu sah dan memiliki pengikutnya sendiri dalam dunia apresiasi sastra.

Perbedaan pandangan ini justru semakin memperkaya dinamika diskusi. Munculnya pro dan kontra terhadap isu yang disajikan membuktikan bahwa "harimau sastra" di lautan maya memang terbangun. 

Mereka tidak lagi sekadar memberikan pujian tanpa refleksi, tetapi mulai terlibat dalam perdebatan yang konstruktif, menguji gagasan, dan mempertajam pemahaman tentang sastra. Inilah esensi dari literasi yang hidup, adanya interaksi aktif, pertukaran ide, dan keberanian untuk mengemukakan pendapat, meskipun berbeda. 

"Mengencingi sumur zamzam" dalam konteks ini bukanlah tindakan literal yang tidak sopan, melainkan sebuah metafora untuk tindakan provokatif yang bertujuan baik, yaitu untuk menggugah kesadaran dan memicu diskusi yang bermanfaat bagi perkembangan literasi di era digital ini.

Lebih jauh, fenomena ini membuka ruang dialektika yang sehat antara teori dan praktik dalam dunia sastra. Para akademisi dan praktisi sastra, yang mungkin selama ini berinteraksi dalam lingkaran terbatas, kini memiliki platform terbuka untuk bertukar pikiran. 

Teori-teori sastra yang abstrak menjadi lebih hidup, ketika dihadapkan pada karya-karya konkret yang diunggah di media sosial. Sebaliknya, apresiasi intuitif terhadap karya sastra mendapatkan landasan yang lebih kokoh melalui pemahaman konsep-konsep teoretis. Proses saling melengkapi ini berpotensi melahirkan generasi penulis dan pembaca yang lebih kritis dan berwawasan luas.

Tentu saja, tantangan dalam memanfaatkan media sosial untuk tujuan literasi juga tidak bisa diabaikan. Informasi yang berlimpah dan seringkali tidak terfilter dapat menjadi distraksi dan bahkan menyesatkan. Dibutuhkan kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang relevan dan kredibel. 

Selain itu, etika berkomunikasi di dunia maya juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Kritik yang membangun harus disampaikan dengan cara yang santun dan menghargai, tanpa terjebak dalam ujaran kebencian atau perundungan siber. Namun, dengan kesadaran dan kedewasaan dalam berinteraksi, media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan semangat literasi dan menumbuhkan komunitas sastra yang solid.

Sebagai penutup, "mengencingi sumur zamzam" dalam konteks ini telah berhasil mencapai tujuannya. Keheningan lautan maya telah terusik, dan percikan-percikan diskusi sastra mulai bermunculan. Terlepas dari berbagai tanggapan yang muncul, yang terpenting adalah adanya kesediaan untuk berinteraksi, belajar, dan berbagi pengetahuan tentang sastra. 

Semoga fenomena ini menjadi awal dari gelombang literasi yang lebih besar di dunia digital, di mana karya sastra tidak hanya sekadar dipajang, tetapi juga diapresiasi, dianalisis, dan didiskusikan secara mendalam, sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan budaya dan intelektual masyarakat.


Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

 

 

Berita Terkait

Posting Komentar

0 Komentar